Selasa, 26 Mei 2015

sejarah pendidikan islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia, baik yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, dan alam semesta. Berdasarkan konsep pendidikan islam, salah satu yang menyebarkan  di Indonesia adalah walisongo.[1]
Walisongo berarti sembilan wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau Waliya yang berarti qaraba yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian. Dalam Al-Qur’an istilah ini dipakai dengan pengertian kerabat, teman atau pelindung. Al-Qur’an menjelaskan: “Allah pelindung (waliyu) orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung (auliya) mereka ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. al-Baqarah: 257)[2]. Antara satu sama lain mempunyai keterkaitan yang erat, bila bukan ikatan darah pasti dalam hubungan guru-murid. Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad XV hingga pertengahan abad XVI. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradapan baru, seperti dalam hal kesehatan, bercocok tanam, berniaga kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan yang sesuai dengan syari’at islam khususnya.
Era walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu–Budha dalam budaya Nusantara yang diganti dengan kebudayaan Agama Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan, namun Walisongolah yang dapat memberikan pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas, serta dakwah secara langsung membuat nama “sembilan wali” ini lebih menyatu dengan jiwa masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud Pendidikan Islam?
2.      Bagaimana sejarah dan peran para tokoh Walisongo?
3.      Bagaimana Pendidikan Islam Pada Masa Permulaan Islam di Nusantara Sampai Periode Walisongo?
4.      Bagaimanakah Metode Pendidikan Islam yang diterapkan oleh para Walisongo?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui pengertian Pendidikan Islam
2.      Mengetahui sejarah dan peran para tokoh Walisongo
3.      mengetahui Pendidikan Islam Pada Masa Permulaan Islam di Nusantara Sampai Periode Walisongo
5.      Mengetahui Metode Pendidikan Islam yang diterapkan oleh para Walisongo






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang secara khas memiliki ciri islami, berbeda dengan konsep pendidikan lain yang kajiannya lebih memfokuskan pada pemberdayaan umat berdasarkan Alqur’an dan Hadis. Pendidikan Islam merupakan suatu rangkaian proses sistematis, terencana, dan komprehensif dalam upaya mentransfer nilai-nilai kepada para peserta didik serta mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka sehingga mampu melaksanakan tugasnya di muka bumi dengan sebaik-baiknya sesuai dengan nilai-nilai Illahiah yang didasarkan pada Alqur’an dan Hadis di semua dimensi kehidupan.[3]
Pengertian pendidikan Islam itu sendiri berarti usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses pembelajaran, agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan negara sesuai dengan ajaran Islam.
Dari pemaparan yang disampaikan diatas, intinya dapat dirumusakn sebagi berikut:
pendidikan islam merupakan sistem pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan niat untuk mengejanwantahkan atau mengaplikasikan ajaran dan nilai-nilai islam dalam kegaitaan pendidikan.[4]


B.     Peranan Walisongo dalam Penyebaran Agama dan Pendidikan Islam
1.      Sunan Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Maulana Malik Ibrahim ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, dan Maulana Ishak sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia. Pasai merupakan tempat kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang toko utama dan pertama dari gerakan Wali Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan para Ulama di tanah Jawa. Mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Aceh dan menikah dengan puteri Aceh yang dikenal sebagai Puteri Raja Champa, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Maulana Malik Ibrahim meninggal di Gresik tahun 1419 M, dan Makamnya yang terletak dikampung Gapura di Gresik.[5]
Cara Berdakwah beliau : Maulana Malik Ibrahim berhasil mencetak kader mubaligh selama 20 tahun. Wali-wali lainnya adalah murid dari Maulana Malik Ibrahim yang digembleng dengan pendidikan sistim pondok pesantren. Antara Malik Ibrahim dengan para wali yang lain atau antara para wali itu sendiri selain diikat oleh hubungan pendidikan juga diikat oleh hubungan kekeluargaan, yaitu dengan cara menjadi besan, menantu atau ipar. Sistem seperti ini juga pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad.
2.      Sunan Ampel
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.[6]
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina”.[7]
Ajaran Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafal Moh. Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu :
a.       Moh Main  atau tidak mau berjudi
b.      Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan
c.       Moh Maling atau tidak mau mencuri
d.      Moh Madat atau tidak menghisap candu, ganja dan lain-lain
e.       Moh Madon atau tidak mau berzina/main perempuan yang bukan istrinya
3.      Sunan Bonang
Sunan Bonang diperkirakan lahir pada tahun 1465 M, serta meninggal dunia pada tahun 1525 M. Sunan Bonang atau Raden Maulana Makdum Ibrahim, kemudian masyarakat Jawa lebih mengenal dengan sebutan Sunan Bonang, ia adalah seorang putera dari Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati. Ada yang mengatakan bahwa Dewi Condrowati itu adalah putra Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah salah seorang pangeran Majapahit. Sunan Bonang menaruh perhatian yang besar pada bidang kebudayaan dan kesenian. Daerah operasinya ialah antara Surabaya dan Rembang. Beliau mengarang lagu-lagu gending Jawa yang berisi tentang Keislaman, antara lain tembang Mocopat.
Cara Berdakwah Beliau : Sunan Bonang mendapat pendidikan agamanya pada ayahnya sendiri yaitu Sunan Ampel. Daerah tugas dakwah-Islamisasi semasa hidupnya adalah terutama di wilayah Tuban dan sekitarnya (Jawa Timur), dan ia dikenal seorang ulama semasa hidupnya yang gigih dan giat sekali menyebarkan agama Islam. Sunan Bonang juga mendirikan pondok pesantren di daerah Tuban, di pasantren ini pula ia mendidik serta menggembleng kader-kader muda Islam yang kemudian merekalah yang akan ikut juga menyiarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa. konon beliaulah yang menciptakan gending Dharma serta berusaha mengganti nama-nama hari nahas (hari sial) menurut kepercayaan Hindu, serta Sunan Bonang mengantikan juga nama-nama dewa Hindu dengan nama-nama malaikat dan nama nabi-nabi.[8]
Adapun kitab yang dikirakan sebagai sumber ajaran Sunan Bonang yaitu :
a.       Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali
b.      Tahmid dari Abu Syakur bin Su’aib – as-Salami
c.       Talkis al-Minhad dari Nawawi
d.      Quth al-Qulub dari Abu Thalib al-Maki
e.       Risallah al-Makiyyah fi Tharing al-Sad al-Sufiyah dari al-Tamami
f.       Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki
g.      Hayatul Auliya dari Abu Nu’aim al-Isfahani
Ajaran Sunan Bonang merupakan aliran Ahlussunnah. Dijelaskan disana bahwa Tasawuf harus berdasarkan fiqh dan tauhid, shalat, puasa, zakat, merupakan jalan yang tidak bisa ditingggalkan. Dalam tauhid dijelaskan bahawa adanya bumi itu menunjukkan adanya Allah. Tuhan dalam ajaran sunan Bonang adalah Tuhan yang bersifat sebagaimana dalam alqur’an. Dalam hal fiqh  diberikan nasihat agar orang tidak melalaikan ketentuan yang telah diturunkan Allah lewat Rosul-Nya. Manusia harus memperhatikan lima hukum syari’at dengan baik yakni wajib, sunah, makruh, mubah, dan haram.[9]
4.      Sunan Giri
Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq. Maulana Saiyid Ishaq inilah sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Sunan Giri mendapat pendidikannya pada Raden Rahmat (Sunan Ampel). Dalam masa pendidikan itulah Raden Paku bertemu dengan Maulana Makdum Ibrahim, putera-puteranya Sunan Ampel yang bergelar Sunan Bonang.
Cara Berdakwah :Sunan Giri Setelah Ngelmu kepada Sunan Ampel mendirikan pendidikan islam di Giri. Dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan islam pesantren didirikan agama islam semakin tersebar sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga ini merupakan anak panah penyebaran islam di Jawa. Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku di karuniai Ilmu laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan. Sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya.
5.      Sunan Drajat
Sunan Drajad atau Syarifuddin lahir pada tahun 1470 M adalah seorang putera dari Sunan Ampel dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau sunan Bonang. Nama Sunan Drajad ketika kecil yaitu Raden Qosim, Sunan Drajat juga adalah ikut pula mendirikan kerajaan Islam di Demak dan menjadi penyokongnya yang setia, daerah dakwahnya di Jawa Timur dan ia terkenal seorang waliyullah yang berjiwa sosial. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria[10].
Cara Dakwah :Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri, yaitu menyebarkan agama Islam dengan lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur dengan adat dan kepercayaan lama. Meskipun demikian beliau juga menggunakan kesenian rakyat sebagai media dakwah. Karena di museum Sunan drajad terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa. Raden Qosim adalah wali yang hidup bersahaja, walaupun beliau juga rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang sangat dermawan dan suka menolong rakyat jelata yang menderita. Ajaran Sunan drajad bersumber dari:
a.       Al-Qur’an
b.      Sunnah
c.       Ijma
d.      Qiyas
e.       Ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel atau orang tuanya
f.       Tradisi di masyarakat setempat yang telah ada sesuai dengan ajaran Islam
6.      Sunan Kalijaga
Nama asli Sunan kalijaga adalah Raden Said. Beliau memiliki saudara perempuan bernama Dewi Rasawulan. Ayahnya adalah adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta yang sering disebut Raden Sahur, jadi beliau termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama islam.



Dalam berdakwah Sunan Kalijaga dikenal sebagai:
a.      Muballigh
Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat jawa yang saat itu banyak menganut kepercayaan lama tidak ditentang adat istiadatnya, beliau mendekati rakyat itu dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai jubah melainkan memakai pakaian adat jawa yang disalin dan disempurnakan sendiri secara islami sehingga rakyat tidak merasa angker dan mau menerimanya dengan senang hati. Cara berdakwah tersebut sangat efektif, sebagian besar adipati di Jawa memeluk agama islam melalui Sunan Kalijaga. Diantaranya adipati Padanaran, Kartasura, Kabumen, Banyumas, serta Pajang ( sekarang Kotagede - Yogya).
b.      Ahli Budayawan
Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit, beduk di masjid, grebek maulud, seni tata kota, dan lain-lain.
7.      Sunan Kudus
Sunan Kudus memiliki nama kecil Jaffar Shadiq. Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung (Sayyid Utsman Haji) dengan Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang. Lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Pada tahun 1550 M Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.[11]
Cara Berdakwah Beliau :
a.     Strategi Pendekatan dengan Masyarakat
Sunan kudus termasuk mendukung sunan kalijaga dan sunan bonong menerapkan strategi dakwah antara lain :
1)      Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah.
2)   Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
3)   Tut wuri handayani dan menerapkan  prinsip tut wuri hangiseni.
4)   Menghindarkan konfrontasi, didalam menyiarkan islam.
5)   Pada akhirnya boleh merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tridak sesuai dengan ajaran islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat islam.
b.    Merangkul Masyarakat Hindu – Budha
Cara beliau mendekati masyarakat Kudus yaitu dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu – Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran / padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
c.       Selamatan Mitoni
Dalam cerita tutur disebutkan bahwa sunan kudus ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama. Seperti mitoni pada  saat tiga bulan. Sembari minta kepada Dewa bahwa bila anakmya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan seperti Dewi Ratih cantiknya.
8.      Sunan Gunung Jati
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).[12]
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.[13]
Cara Berdakwah : Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
9.      Sunan Muria
Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngudung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota KudusJawa Tengah, tempat dia dimakamkan.[14]
Cara Berdakwah : Sunan Muria, dalam menyebarkan Islam di Jawa, menggunakan pendekatan seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Tradisi yang ada bukan di hilangkan, melainkan diberi warna islam. Hal ini terlihat antara lain dalam upacara selamatan yang dilaksanakan oleh orang Jawa pada waktu itu tetap dipelihara.
Menurut Solichim Salam, sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut, dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan islam. Beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.[15]
Adapun peranan walisongo dalam penyebaran agama Islam antara lain:
a.       Sebagai pelopor penyebarluasan agama Islam kepada masyarakat yang belum banyak mengenal ajaran Islam di daerahnya masing-masing.
b.      Sebagai para pejuang yang gigih dalam membela dan mengembangkan agama Islam di masa hidupnya.
c.       Sebagai orang-orang yang ahli di bidang agama Islam.
d.      Sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT karena terus-menerus beribadah kepada-Nya, sehingga memiliki kemampuan yang lebih.
e.       Sebagai pemimpin agama Islam di daerah penyebarannya masing-masing, yang mempunyai jumlah pengikut cukup banyak di kalangan masyarakat Islam.
f.       Sebagai guru agama Islam yang gigih mengajarkan agama Islam kepada para muridnya.
g.      Sebagai kiai yang menguasai ajaran agama Islam dengan cukup luas.
h.      Sebagai tokoh masyarakat Islam yang disegani pada masa hidupnya.
C.    Pendidikan Islam Pada Masa Permulaan Islam di Nusantara Sampai Periode Walisongo
Pendidikan merupakan salah satu perhatian sentral masyarakat Islam baik dalam Negara mayoritas maupun minoritas. Dalam ajaran agama Islam pendidikan mendapat posisi yang sangat penting dan tinggi. Karenanya, umat Islam selalu mempunyai perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan pendidikan untuk kepentingan masa depan umat Islam.
Besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam system yang sederhana, peengajaran diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam masjid, musallah bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigeneous religious and social institution) ke dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Di Jawa, umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren; di Minangkabau mengambil Surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam; demikian halnya di Aceh dengan mentransfer lembaga meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam.
Menurut Manfred, Pesantren berasal dari masa sebelum Islam serta mempunyai kesamaan dengan Budha dalam bentuk asrama. Bahwa pendidikan agama yang melembaga berabad-abad berkembang secara pararel. Pesantren berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Menurut Robson, kata santri berasal dari bahasa Tamil “sattiri” yang diartikan sebagai orang yang tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan secara umum. Meskipun terdapat perbedaan dari keduanya, namun keduanya perpendapat bahwa santri berasal dari bahasa Tamil.
Santri dalam arti guru mengaji, jika dilihat dari penomena santri. Santri adalah orang yang memperdalam agama kemudian mengajarkannya kepada umat Islam, mereka inilah yang dikenal sebagai “guru mangaji”. Santri dalam arti orang yang tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan, bisa diterima karena rumusannya mengandung cirri-ciri yang berlaku bagi santri. Ketika memperdalam ilmu agama, para santri tinggal di rumah miskin, ada benarnya. Kehidupan santri dikenal sangat sederhana. Sampai Tahun 60-an, pesantren dikenal dengan nama pondok, karena terbuat dari bambu.
Pada abad ke XV, pesantren telah didirikan oleh para penyebar agama Islam, diantaranya Wali Songo. Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam mendirikan masjid dan asrama untuk santri-santri. Di Ampel Denta, Sunan Ampel telah mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu atau ngaos pemuda Islam. Sunan Giri telah ngelmu kepada Sunan Ampel mendirikan lembaga pendidikan Islam di Giri. Dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan Islam pesantren didirikan, agama Islam semakin tersebar sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga ini merupakan ujung tombak penyebaran Islam di Jawa.
Peran Wali Songo tidak terlepas dari sejarah pendidikan Islam di Nusantara. Wali Songo melalui dakwahnya berhasil mengkombinasi metoda aspek spiritual dan mengakomodasi tradisi masyarakat setempat dengan cara mendirikan pesantren, tempat dakwah dan proses belajar mengajar.

D.    Pendidikan Pada Masa Walisongo
Interelasi Islam dan kebudayaan jawa di bidang pendidikan tidak lupa dari perjuangan Walisongo dalam mengislamkan tanah jawa dan perkembangan pendidikan pesantren di tanah Jawa. Secara historis, asal-usul pesantren tidak dapat di pisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16. pesantren merupakan Lembaga pendidikan ini telah berkembang, khususnya di Jawa selama berabad-abad dan merupakan lembaga pendidikan yang unik di Indonesia.
Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan di jawa, tempat anak-anak muda bisa belajar dan memperoleh pengetahuan keagamaan yang tingkatnya lebih tinggi. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional, karena disitulah anak-anak muda akan mengkaji lebih dalam kitab-kitab klasik berbahasa arab yang ditulis berabad-abad yang lalu. Seorang ahli sejarah yang mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan pra-Islam, yang disebut mandala. Mandala telah ada sejak sebelum majapahit dan berfungsi sebagai pusat pendidikan semacam sekolah dan keagamaan. Bangunan mandala dibangun di tas tanah perdikan yang memperoleh kebebasan sangat luas dari beban-beban penyerahan pajak, kerja rodi, dan campur tangan pihak kraton serta pemilik tanah yang tidak berkaitan dengan keagamaan. Mandala adalah tempat yang di anggap suci karena di situ tempat tinggal para pendeta atau par pertapa yang memberikan kehidupan yang patut di contoh masyarakat sekitar karena kesalehannya, dan laen-laen.
Pesantren dan mandala mempunyai persamaan-persamaan, diantaranya:
1.      Sama-sama memiliki lokasi jauh dari keramaian di pelosok yang berada pada tanah perdikan atau desa yang telah memperoleh hak istimewa dari penguasa. Banyak pertapaan atau mandala di bagian timur jawa di masa Hindu yang dihuni para resi yang menjalankan latihan rohani sambil bertani. Persamaan itu ia contohkan sebagaimana sunan kalijaga yang sering bersemedi dan melakukan tirakat di pertapaan mantingan yang sepi, yang hal itu juga dilakukan oleh para resi dalam tradisi pra-Islam.
2.      Lembaga pendidikan keagamaan Hindu Budha mandala dan lembaga pendidikan keagamaan Islam pesantren sama-sama memiliki tradisi ikatan guru murid. Ikatran guru murid ini merupakan ciri yang umum dalam kehidupan di mandala, yaitu murid yang jauh dari orang tuanya diserahkan pendidikannya kepada guru sebagai pengganti orang tua di lembaga pendidikan pra Islam. Hubungan guru murid juga menjadi ciri dalam pendidikan Islam, terutama karena perkembangan lembaga tarekat-tarekat yang berada di pesantren.
3.      Tradisi menjalin komunikasi antardharma, yang juga dilakukan anatar pesantren dengan perjalanan rohani atau lelana. Pengembaraan rohani dalam islam sangat berkaitan dengan perjalanan ilmiah yang ingin dicapai dalam tradisi pesantren, yaitu untuk menambah ilmu. Perjalanan ilmiah atau yang sebut rihlah ilmiah memunculkan santri (berarti siswa atau murid sebuah pesantren) yang terus menerus ingin menambah ilmunya.
4.      Metode pengajarannya yang disebut halaqah (lingkaran). Dalam halaqoh kiai biasanya duduk dekat tiang, sedangkan para murid duduk di depannya membentuk lingkaran.
Tokoh sejarawan lain yang menduga bahwa pesantren merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan keagamaan Hindu Budha mandala di tanah Jawa adalah pendapat Simanjuntak. Ia menyatakan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam telah mengambil model dan tidak mengubah struktur organisasi dari lembaga pendidikan mandala pada masa Hindu. Pesantren hanya mengubah isi agama yang dipelajari, bahasa yang menjadi sarana bagi pemahaman pelajaran agama, dan latar belakang para santrinya.
Demikian pula Abdurrahman Mas’ud berpendapat bahwa pesantren sebagai institusi pendidikan Islam memiliki kesinambungan dengan lembaga pendidikan gurucula yang telah ada di masa pra Islam di Jawa. Pesantren memiliki akar budaya, ideologis, dan historis dari lembaga pendidikan Hindu Budha yang dilestarikan dengan memberikan modifikasi substansi yang bernuansa islami.
Pendekatan pendidikan yang digunakan Walisongo diantaranya yaitu sebagai berikut:
a.    Pendekatan Modelling
Modelling diartikan sebagai model, contoh, panutan. Artinya dalam menyampaikan ajaran Islam tidak hanya sekedar memberitahu hal-hal yang sifatnya hanya kognitif semata, tetapi juga dengan cara memberikan contoh. Islam adalah ajaran nilai yang mana tidak akan berguna jika hanya digunakan sebatas pada pengetahuan kognitif saja. Dengan kata lain inti dari pendidikan Islam adalah internalisasi nilai-nilai ke-Islaman. Oleh karena itu perlu adanya sebuak objek yang bisa dijadikan teladan atau panutan.
Yang perlu ditegaskan adalah bahwa modelling mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Walisongo sebagai penyebar ajaran Islam yang juga menjadi kiblat kaum santri sudah barang tentu berkiblat pada para guru besar dan kepimpinan muslimin, Nabi Muhammad SAW. Kekuatan modelling ditopang dan sejalan dengan sistem nilai Jawa yang mementingkan  paternalisme (system kepemimpinan berdasarkan hubungan bapak dan anak) dan patron-client relation (hubungan pelindung-klien / yang dilindungi) yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Jawa.
b.   Pendekatan Substantif
Di zaman serba modern seperti sekarang ini, pendidikan mempunyai kedudukan amat penting di dalamnya. Sebab tanpa pendidikan manusia tidak dapat mencapai prestasi yang begitu tinggi dalam membangun peradaban. Suatu peradaban yang maju dan berkembang adalah peradaban yang di dalamnya menjunjung tinggi pendidikan.
Pendekatan substantif adalah pendekatan yang dalam pengajarannya lebih mengutamakan materi pokok / inti pokok pengajaran. Dalam Islam ajaran tauhid adalah satu materi pokok yang disjikan sejak awal. “Karena lebih mengutamakan pendekatan substantive maka jika terlihat pendekatan Walisongo sering menggunakan elemen-elemen non-Islam, sesungguhnya hal ini adalah means atau a matter of approach, atau alat untuk mencapai tujuan yang tidak mengurangi substaisi dan signifikansi ajaran yang diberikan. Dengan kata lain, wisdom dan mau`idhah hasanah adalah cara yang dipilih sesuai dengan ajaran Al-Quran (An-Nahl : 125)”.
c.    Tidak bersifat diskriminatif
Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi sejak lahir. “aliran nativisme berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya.”
“Sementara aliran emprisme berpendapat berlawanan dengan kaum nativisme karena berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa itu sama sekali ditentukan oleh lingkungannya atau oleh pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil.”
Dalam Islam dikenal dengan istilah “fitrah”. Secara etimologis, asal kata fitrah dari bahasa Arab yaitu “fitratun” jamaknya “fitarun”, artinya perangai, tabiat, kejadian asli, agama, ciptaan. Fitrah juga terambil dari akar-akar “Al-Fathr” yang berarti belahan. Dari makna ini lahir akna-makna lain, antara lain “pencipta” atau “kejadian”.
Sehubungan dengan kata fitrah tersebut ada sebuah hadits shohih diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah: “tidak ada satu anak pun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkannya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR : Bukhori dan Muslim)
Meskipun dikatakan sebagai pendidikan yang merakyat, namun pendidikan Islam Walisongo juga ditujukan pada penguasa. Keberhasilan Walisongo terhadap pendekatan yang terakhir ini biasanya terungkap dalam istilah poluler Sabdo Pandito Ratu yang berarti menyatunya pemimpin agaa dan pemimpin Negara. Dengan kata lain, dikotomi atau gap antara ulama dan raja tidak mendapatkan tempat dalam ajaran dasar Walisongo. Ajaran ini adalah warlsan Sunan Kalijaga, tokoh yang mewariskan system kabupaten di Jawa.
d.   Understandable and applicable
Maksudnya adalah mudah dipahami dan dilaksanakan. Konsep pendidikan yang tidak muluk-muluk dan cara penyampaian yang sederhana namun mengena, lebih mudah untuk ditangkap oleh masyarakat yang sebagian besar masih rendah tingkat pemahamannya. Hal ini selaras dengan ajaran Nabi wa khatibinnas `ala qadri `uqulihim.
Proses penyampaian tidak hanya dengan ceramah tetapi juga menggunakan metode dan media lain. Seperti media pewayangan misalnya. Wayang sebenarnya tidak berasal dari Islam, namun dengan mengganti substansi wayang tersebut dengan inti ajaran Islam, maka proses pendidikan Islam masih dapat dilaksanakan. Ajaran rukun Islam dengan demikian dapat ditemukan dalam cerita pewayangan seperti syahadatain yang sering dipersonifikasikan dalam tokoh puntadewa, tokoh tertua diantara Pandawa dalam kisah Mahabarata. Puntadewa yang memiliki pusaka Jamus Kalimasada (Kalimasada : Kalimah Syahadat) digambarkan sebagai raja adil yang tulus ikhlas bekerja untuk kesejahteraan rakyatnya, yakni pemimpin yang konsisten antara kata dan perbuatannya. Tingkah laku yang tidak munafik ini (beriman) adalah refleksi lips of faith.
e.    Pendekatan kasih sayang
Mendidk bukanlah sekedar transfer ilmu pengetahuan dari seorang guru kepada muridnya. Terlalu naïf jika masih ada guru yang menganggap demikian pada zaman sekarang ini. Lebh jauh lagi pendidika merupakan transformasi komponen-komponen pendidikan yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian pendidikan juga mementingkan aspek moral.
Bagi walisongo, mendidik adalah tugas dan panggilan agama. Mendidik murid sama halnya dengan mendidik anak kandung sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini adalah ayangi, hormati, dan jagalah anak didikmu, hargailah tingkah laku mereka sebagaimana engkau memperlakukan anak turunmu. Beri mereka pakaian dan makanan hingga mreka dapat menjalankan syariat Islam, dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan.
Bila dewasa ini di Indonesia kita masih menemukan pola pendidikan yang menindas, seperti guruyang selalu merasa paling benar, baik dalam kata, tulis, maupun tingkah laku sehari-hari (apalagi dalam kelas), tindakan hukuman pada anak didik yuang lebih didorong oleh emosi pribadi dan bukan pertimbangan edukatif, maka ini semua adalah warisan penjajah yang lahir jauh setelah zaman Walisongo.[16]
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pengertian pendidikan Islam itu sendiri berarti usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses pembelajaran, agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan negara sesuai dengan ajaran Islam.
Wali songo adalah  sembilan wali yang dianggap telah dekat dengan Allah SWT, terus menerus beribadah kepada-Nya, serta memiliki kekeramatan dan kemampuan-kemampuan lain di luar kebiasaan manusia. Terdiri dari Sembilan wali yaitu : Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Raden Rahmat  (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Qosim  (Sunan Drajat), Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Raden Ja’far Sadiq  (Sunan Kudus), Raden Said (Sunan Kalijaga), Raden Umar Said (Sunan Muria). Adapun peranan walisongo dalam penyebaran agama Islam antara lain:
a.       Sebagai pelopor penyebarluasan agama Islam kepada masyarakat yang belum banyak mengenal ajaran Islam di daerahnya masing-masing.
b.      Sebagai para pejuang yang gigih dalam membela dan mengembangkan agama Islam di masa hidupnya.
c.       Sebagai orang-orang yang ahli di bidang agama Islam.
d.      Sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT karena terus-menerus beribadah kepada-Nya, sehingga memiliki kemampuan yang lebih.
e.       Sebagai pemimpin agama Islam di daerah penyebarannya masing-masing, yang mempunyai jumlah pengikut cukup banyak di kalangan masyarakat Islam.
f.       Sebagai guru agama Islam yang gigih mengajarkan agama Islam kepada para muridnya.
g.      Sebagai kiai yang menguasai ajaran agama Islam dengan cukup luas.
h.      Sebagai tokoh masyarakat Islam yang disegani pada masa hidupnya.

Pendekatan pendidikan yang digunakan Walisongo diantaranya yaitu sebagai berikut:
a.       Modelling    
b.      Bersifat Substantif
c.       Pendidikan Islam yang Tidak Diskriminatif
d.      Understandable and applicable
e.       Dengan pendekatan kasih sayang

B.     SARAN
Walisongo merupakan tokoh pejuang Agama dan Sekaligus Tokoh Pendidikan Islam, oleh karena itu sudah sepatutnya kita mempelajari, mencontoh, dan melestarikan budaya, metode-metode yang telah diterapkan oleh Para Wali dengan cara mengintegrasikann Metode-metode lama dengan perkembangan zaman yang semakin modern ini.









DAFTAR PUSTAKA

Haidar Putera Daulay, Pemberdayaan Pendidikanislam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm.6.
http://obedjustin.blogspot.com/2013/01/metode-dakwah-wali-songo.html
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (jakarta: Amzah, 2013), hlm.33
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm.8.
http://coretan-rossi.blogspot.com/2011/06/pendidikan-islam-masa-wali-songo.html (di akses pukul 10:30 WIB_21/03/2015)
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Muria.(21/03/2015)
http://contohrpp.wordpress.com/tag/sunan-muria-atau-raden-umar-said-atau-raden-said/.(21/03/2015)
http://mitracap.blogspot.com/2012/12/metode-pendidikan-walisongo.html




[1] Haidar Putera Daulay, Pemberdayaan Pendidikanislam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm.6.
[2] http://obedjustin.blogspot.com/2013/01/metode-dakwah-wali-songo.html
[3] Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, jakarta, Amzah, 2013. Hal.33
[4] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm.8.

[7] Lihat : Ibid.
[9] Lihat : http://coretan-rossi.blogspot.com/2011/06/pendidikan-islam-masa-wali-songo.html (di akses pukul 10:30 WIB_21/03/2015)
[14] Lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Muria.(21/03/2015)
[15] Lihat:  http://contohrpp.wordpress.com/tag/sunan-muria-atau-raden-umar-said-atau-raden-said/.(21/03/2015)
[16] http://mitracap.blogspot.com/2012/12/metode-pendidikan-walisongo.html