BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi
muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia, baik yang berbentuk
jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap
pribadi manusia dengan Allah, dan alam semesta. Berdasarkan konsep pendidikan
islam, salah satu yang menyebarkan di
Indonesia adalah walisongo.[1]
Walisongo berarti sembilan wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus,
Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala
atau Waliya yang berarti qaraba yaitu dekat, yang berperan
melanjutkan misi kenabian. Dalam Al-Qur’an istilah ini dipakai dengan
pengertian kerabat, teman atau pelindung. Al-Qur’an menjelaskan: “Allah pelindung
(waliyu) orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran)
kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung
(auliya) mereka ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada
kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.” (Q.S. al-Baqarah: 257)[2].
Antara satu sama lain mempunyai keterkaitan yang erat, bila bukan ikatan
darah pasti dalam hubungan guru-murid. Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari
awal abad XV hingga pertengahan abad XVI. Mereka adalah para intelektual yang
menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk
peradapan baru, seperti dalam hal kesehatan, bercocok tanam, berniaga
kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan yang sesuai dengan
syari’at islam khususnya.
Era walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu–Budha dalam budaya
Nusantara yang diganti dengan kebudayaan Agama Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang
juga berperan, namun Walisongolah yang dapat memberikan pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas, serta dakwah secara langsung membuat nama “sembilan
wali” ini lebih menyatu dengan jiwa masyarakat.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah yang dimaksud Pendidikan
Islam?
2. Bagaimana sejarah dan peran para
tokoh Walisongo?
3.
Bagaimana Pendidikan Islam Pada Masa Permulaan
Islam di Nusantara Sampai Periode Walisongo?
4. Bagaimanakah Metode Pendidikan Islam
yang diterapkan oleh para Walisongo?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Mengetahui pengertian Pendidikan
Islam
2. Mengetahui sejarah dan peran para
tokoh Walisongo
3.
mengetahui Pendidikan Islam Pada Masa Permulaan
Islam di Nusantara Sampai Periode Walisongo
5. Mengetahui Metode Pendidikan Islam yang
diterapkan oleh para Walisongo
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan
Islam
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang secara
khas memiliki ciri islami, berbeda dengan konsep pendidikan lain yang kajiannya
lebih memfokuskan pada pemberdayaan umat berdasarkan Alqur’an dan Hadis. Pendidikan
Islam merupakan suatu rangkaian proses sistematis, terencana, dan
komprehensif dalam upaya mentransfer nilai-nilai kepada para peserta didik
serta mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka sehingga mampu
melaksanakan tugasnya di muka bumi dengan sebaik-baiknya sesuai dengan nilai-nilai
Illahiah yang didasarkan pada Alqur’an dan Hadis di semua dimensi kehidupan.[3]
Pengertian
pendidikan Islam itu sendiri berarti
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses
pembelajaran, agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat
dan negara sesuai dengan ajaran Islam.
Dari pemaparan yang disampaikan diatas, intinya dapat
dirumusakn sebagi berikut:
pendidikan islam merupakan sistem pendidikan
yang diselenggarakan atau didirikan dengan niat untuk mengejanwantahkan atau
mengaplikasikan ajaran dan nilai-nilai islam dalam kegaitaan pendidikan.[4]
B. Peranan Walisongo
dalam Penyebaran Agama dan Pendidikan Islam
1. Sunan Maulana
Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim
As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal
abad 14. Maulana Malik Ibrahim ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama
terkenal di Samudra Pasai, dan Maulana Ishak sekaligus ayah dari Sunan Giri
(Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia. Pasai
merupakan tempat kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang toko utama dan pertama
dari gerakan Wali Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan
para Ulama di tanah Jawa. Mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik
Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi.
Beliau sendiri dibesarkan di Aceh dan menikah dengan puteri Aceh yang dikenal
sebagai Puteri Raja Champa, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Maulana
Malik Ibrahim meninggal di Gresik tahun 1419 M, dan Makamnya yang terletak
dikampung Gapura di Gresik.[5]
Cara Berdakwah beliau : Maulana Malik Ibrahim berhasil mencetak kader mubaligh
selama 20 tahun. Wali-wali lainnya adalah murid dari Maulana Malik Ibrahim yang
digembleng dengan pendidikan sistim pondok pesantren. Antara Malik Ibrahim
dengan para wali yang lain atau antara para wali itu sendiri selain diikat oleh
hubungan pendidikan juga diikat oleh hubungan kekeluargaan, yaitu dengan cara
menjadi besan, menantu atau ipar. Sistem seperti ini juga pernah dilakukan oleh
Nabi Muhammad.
2. Sunan Ampel
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad
Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama
Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri,
diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau
Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo
sekarang).
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di
Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri.
Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak
didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa
itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V
raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.[6]
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada
para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada
penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main,
moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak
berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik,
dan tidak berzina”.[7]
Ajaran Hasil didikan beliau yang terkenal
adalah falsafal Moh. Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu :
a.
Moh Main atau tidak mau berjudi
b.
Moh Ngombe atau tidak
mau minum arak atau bermabuk-mabukan
c.
Moh Maling atau tidak
mau mencuri
d.
Moh Madat atau tidak
menghisap candu, ganja dan lain-lain
e.
Moh Madon atau tidak
mau berzina/main perempuan yang bukan istrinya
3. Sunan Bonang
Sunan Bonang diperkirakan lahir pada tahun 1465 M,
serta meninggal dunia pada tahun 1525 M. Sunan Bonang atau Raden Maulana
Makdum Ibrahim, kemudian masyarakat Jawa lebih mengenal dengan sebutan Sunan
Bonang, ia adalah seorang putera dari Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati. Ada
yang mengatakan bahwa Dewi Condrowati itu adalah putra Prabu Kertabumi. Dengan
demikian Raden Makdum adalah salah seorang pangeran Majapahit. Sunan Bonang
menaruh perhatian yang besar pada bidang kebudayaan dan kesenian. Daerah
operasinya ialah antara Surabaya dan Rembang. Beliau mengarang lagu-lagu
gending Jawa yang berisi tentang Keislaman, antara lain tembang Mocopat.
Cara Berdakwah Beliau : Sunan
Bonang mendapat pendidikan agamanya pada ayahnya sendiri yaitu Sunan Ampel.
Daerah tugas dakwah-Islamisasi semasa hidupnya adalah terutama di wilayah Tuban
dan sekitarnya (Jawa Timur), dan ia dikenal seorang ulama semasa hidupnya yang
gigih dan giat sekali menyebarkan agama Islam. Sunan Bonang juga mendirikan
pondok pesantren di daerah Tuban, di pasantren ini pula ia mendidik serta
menggembleng kader-kader muda Islam yang kemudian merekalah yang akan ikut juga
menyiarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa. konon beliaulah yang menciptakan
gending Dharma serta berusaha mengganti nama-nama hari nahas (hari sial)
menurut kepercayaan Hindu, serta Sunan Bonang mengantikan juga nama-nama dewa
Hindu dengan nama-nama malaikat dan nama nabi-nabi.[8]
Adapun kitab yang dikirakan sebagai
sumber ajaran Sunan Bonang yaitu :
a.
Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali
b.
Tahmid dari Abu Syakur bin Su’aib –
as-Salami
c.
Talkis al-Minhad dari Nawawi
d.
Quth al-Qulub dari Abu Thalib al-Maki
e.
Risallah al-Makiyyah fi Tharing
al-Sad al-Sufiyah dari al-Tamami
f.
Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki
g.
Hayatul Auliya dari Abu Nu’aim
al-Isfahani
Ajaran Sunan Bonang merupakan aliran Ahlussunnah.
Dijelaskan disana bahwa Tasawuf harus berdasarkan fiqh dan tauhid, shalat,
puasa, zakat, merupakan jalan yang tidak bisa ditingggalkan. Dalam tauhid
dijelaskan bahawa adanya bumi itu menunjukkan adanya Allah. Tuhan dalam ajaran
sunan Bonang adalah Tuhan yang bersifat sebagaimana dalam alqur’an. Dalam hal
fiqh diberikan nasihat agar orang tidak
melalaikan ketentuan yang telah diturunkan Allah lewat Rosul-Nya. Manusia harus
memperhatikan lima hukum syari’at dengan baik yakni wajib, sunah, makruh,
mubah, dan haram.[9]
4.
Sunan Giri
Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada
1442 M. Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai
ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq. Maulana Saiyid Ishaq inilah
sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Sunan Giri mendapat pendidikannya
pada Raden Rahmat (Sunan Ampel). Dalam masa pendidikan itulah Raden Paku
bertemu dengan Maulana Makdum Ibrahim, putera-puteranya Sunan Ampel yang
bergelar Sunan Bonang.
Cara Berdakwah :Sunan Giri
Setelah Ngelmu kepada Sunan Ampel mendirikan pendidikan islam di Giri. Dengan
semakin banyaknya lembaga pendidikan islam pesantren didirikan agama islam
semakin tersebar sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga ini merupakan
anak panah penyebaran islam di Jawa. Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku di
karuniai Ilmu laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan. Sehingga
kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya.
5. Sunan Drajat
Sunan Drajad atau Syarifuddin lahir pada tahun
1470 M adalah seorang putera dari Sunan Ampel dan merupakan adik dari Raden
Makdum Ibrahim atau sunan Bonang. Nama Sunan Drajad ketika kecil yaitu Raden
Qosim, Sunan Drajat juga adalah ikut pula mendirikan kerajaan Islam di Demak
dan menjadi penyokongnya yang setia, daerah dakwahnya di Jawa Timur dan ia
terkenal seorang waliyullah yang berjiwa sosial. Dalam pengajaran tauhid dan
akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak
mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi
cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria[10].
Cara Dakwah :Raden Qosim
adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri, yaitu menyebarkan
agama Islam dengan lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh
dicampur dengan adat dan kepercayaan lama. Meskipun demikian beliau juga
menggunakan kesenian rakyat sebagai media dakwah. Karena di museum Sunan drajad
terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa. Raden Qosim adalah wali yang hidup
bersahaja, walaupun beliau juga rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap
beliau yang sangat dermawan dan suka menolong rakyat jelata yang menderita. Ajaran
Sunan drajad bersumber dari:
a.
Al-Qur’an
b.
Sunnah
c.
Ijma
d.
Qiyas
e.
Ajaran guru dan pendidik seperti
Sunan Ampel atau orang tuanya
f.
Tradisi di masyarakat setempat yang
telah ada sesuai dengan ajaran Islam
6. Sunan Kalijaga
Nama asli Sunan kalijaga adalah Raden
Said. Beliau memiliki saudara perempuan bernama Dewi Rasawulan. Ayahnya
adalah adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta yang sering disebut Raden
Sahur, jadi beliau termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden
Sahur sendiri sudah masuk agama islam.
Dalam berdakwah Sunan Kalijaga
dikenal sebagai:
a. Muballigh
Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat jawa yang saat
itu banyak menganut kepercayaan lama tidak ditentang adat istiadatnya, beliau
mendekati rakyat itu dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak
memakai jubah melainkan memakai pakaian adat jawa yang disalin dan
disempurnakan sendiri secara islami sehingga rakyat tidak merasa angker dan mau
menerimanya dengan senang hati. Cara berdakwah tersebut sangat efektif,
sebagian besar adipati di Jawa memeluk agama islam melalui Sunan Kalijaga.
Diantaranya adipati Padanaran, Kartasura, Kabumen, Banyumas, serta Pajang (
sekarang Kotagede - Yogya).
b. Ahli Budayawan
Gelar tersebut tidak berlebihan
karena beliaulah yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni suara, seni
ukir, seni gamelan, wayang kulit, beduk di masjid, grebek maulud, seni tata
kota, dan lain-lain.
7. Sunan Kudus
Sunan Kudus memiliki nama kecil Jaffar Shadiq. Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung (Sayyid Utsman Haji) dengan Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang. Lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali
Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke
Jawa dan sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima
Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga.
Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen,
Simo hingga Gunung Kidul. Pada tahun 1550 M
Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara
Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara
Kudus.[11]
Cara Berdakwah Beliau :
a.
Strategi Pendekatan dengan
Masyarakat
Sunan kudus termasuk mendukung sunan kalijaga dan
sunan bonong menerapkan strategi dakwah antara lain :
1)
Membiarkan dulu adat istiadat dan
kepercayaan lama yang sukar dirubah.
2)
Bagian adat yang tidak sesuai dengan
ajaran islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
3)
Tut wuri handayani dan
menerapkan prinsip tut wuri hangiseni.
4)
Menghindarkan konfrontasi, didalam
menyiarkan islam.
5)
Pada akhirnya boleh merubah adat dan
kepercayaan masyarakat yang tridak sesuai dengan ajaran islam tetapi dengan
prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat islam.
b.
Merangkul
Masyarakat Hindu – Budha
Cara beliau mendekati masyarakat Kudus yaitu dengan
memanfaatkan simbol-simbol Hindu – Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur
masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran / padasan wudhu yang melambangkan
delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
c.
Selamatan Mitoni
Dalam cerita tutur disebutkan bahwa sunan kudus ketika
gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti mitoni pada saat tiga bulan. Sembari minta kepada Dewa bahwa
bila anakmya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan seperti
Dewi Ratih cantiknya.
8. Sunan Gunung Jati
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati.
Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’
Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat
Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).[12]
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan
Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir
sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja
Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah
Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.[13]
Cara Berdakwah : Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak
berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara.
Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama
lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan
Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali
songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan
pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir
Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia
juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang
menghubungkan antar wilayah.
9.
Sunan Muria
Sunan Muria dilahirkan dengan
nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat,
dia adalah putra dari Sunan
Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngudung. Nama Sunan Muria
sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.[14]
Cara Berdakwah : Sunan Muria, dalam menyebarkan Islam di Jawa,
menggunakan pendekatan seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Tradisi yang
ada bukan di hilangkan, melainkan diberi warna islam. Hal ini terlihat antara
lain dalam upacara selamatan yang dilaksanakan oleh orang Jawa pada waktu itu
tetap dipelihara.
Menurut Solichim Salam, sasaran dakwah beliau adalah para pedagang,
nelayan, pelaut, dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap
mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk
menyampaikan islam. Beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.[15]
Adapun peranan walisongo dalam penyebaran agama Islam antara
lain:
a.
Sebagai pelopor penyebarluasan
agama Islam kepada masyarakat yang belum banyak mengenal ajaran Islam di
daerahnya masing-masing.
b.
Sebagai para pejuang yang gigih
dalam membela dan mengembangkan agama Islam di masa hidupnya.
c.
Sebagai orang-orang yang ahli di
bidang agama Islam.
d.
Sebagai orang yang dekat dengan
Allah SWT karena terus-menerus beribadah kepada-Nya, sehingga memiliki kemampuan
yang lebih.
e.
Sebagai pemimpin agama Islam di
daerah penyebarannya masing-masing, yang mempunyai jumlah pengikut cukup banyak
di kalangan masyarakat Islam.
f.
Sebagai guru agama Islam yang gigih
mengajarkan agama Islam kepada para muridnya.
g.
Sebagai kiai yang menguasai ajaran
agama Islam dengan cukup luas.
h.
Sebagai tokoh masyarakat Islam yang
disegani pada masa hidupnya.
C.
Pendidikan
Islam Pada Masa Permulaan Islam di Nusantara Sampai Periode Walisongo
Pendidikan merupakan salah satu perhatian
sentral masyarakat Islam baik dalam Negara mayoritas maupun minoritas. Dalam
ajaran agama Islam pendidikan mendapat posisi yang sangat penting dan tinggi.
Karenanya, umat Islam selalu mempunyai perhatian yang tinggi terhadap
pelaksanaan pendidikan untuk kepentingan masa depan umat
Islam.
Besarnya arti pendidikan, kepentingan
Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam
system yang sederhana, peengajaran diberikan dengan sistem halaqah yang
dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam masjid, musallah bahkan juga
di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam
di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah
ada (indigeneous religious and social institution) ke dalam lembaga
pendidikan Islam di Indonesia. Di Jawa, umat Islam mentransfer lembaga
keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren; di Minangkabau mengambil Surau
sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam;
demikian halnya di Aceh dengan mentransfer lembaga meunasah sebagai
lembaga pendidikan Islam.
Menurut Manfred, Pesantren berasal dari masa
sebelum Islam serta mempunyai kesamaan dengan Budha dalam bentuk asrama. Bahwa
pendidikan agama yang melembaga berabad-abad berkembang secara pararel.
Pesantren berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan istilah santri berasal
dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Menurut Robson, kata santri
berasal dari bahasa Tamil “sattiri” yang diartikan sebagai orang yang
tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan secara umum. Meskipun
terdapat perbedaan dari keduanya, namun keduanya perpendapat bahwa santri
berasal dari bahasa Tamil.
Santri dalam arti guru mengaji, jika dilihat
dari penomena santri. Santri adalah orang yang memperdalam agama kemudian
mengajarkannya kepada umat Islam, mereka inilah yang dikenal sebagai “guru
mangaji”. Santri dalam arti orang yang tinggal di sebuah rumah miskin atau
bangunan keagamaan, bisa diterima karena rumusannya mengandung cirri-ciri yang
berlaku bagi santri. Ketika memperdalam ilmu agama, para santri tinggal di
rumah miskin, ada benarnya. Kehidupan santri dikenal sangat sederhana. Sampai
Tahun 60-an, pesantren dikenal dengan nama pondok, karena terbuat dari bambu.
Pada abad ke XV, pesantren telah didirikan oleh
para penyebar agama Islam, diantaranya Wali Songo. Wali Songo dalam menyebarkan
agama Islam mendirikan masjid dan asrama untuk santri-santri. Di Ampel Denta,
Sunan Ampel telah mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu atau
ngaos pemuda Islam. Sunan Giri telah ngelmu kepada Sunan Ampel
mendirikan lembaga pendidikan Islam di Giri. Dengan semakin banyaknya lembaga
pendidikan Islam pesantren didirikan, agama Islam semakin tersebar sehingga
dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga ini merupakan ujung tombak penyebaran
Islam di Jawa.
Peran Wali Songo tidak terlepas dari sejarah
pendidikan Islam di Nusantara. Wali Songo melalui dakwahnya berhasil
mengkombinasi metoda aspek spiritual dan mengakomodasi tradisi masyarakat
setempat dengan cara mendirikan pesantren, tempat dakwah dan proses belajar
mengajar.
D. Pendidikan
Pada Masa Walisongo
Interelasi Islam dan kebudayaan jawa di bidang pendidikan
tidak lupa dari perjuangan Walisongo dalam mengislamkan tanah jawa dan
perkembangan pendidikan pesantren di tanah Jawa. Secara historis, asal-usul
pesantren tidak dapat di pisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16.
pesantren merupakan Lembaga pendidikan ini telah berkembang, khususnya di Jawa
selama berabad-abad dan merupakan lembaga pendidikan yang unik di Indonesia.
Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan di
jawa, tempat anak-anak muda bisa belajar dan memperoleh pengetahuan keagamaan
yang tingkatnya lebih tinggi. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah untuk
mentransmisikan Islam tradisional, karena disitulah anak-anak muda akan
mengkaji lebih dalam kitab-kitab klasik berbahasa arab yang ditulis
berabad-abad yang lalu. Seorang ahli sejarah yang mengatakan bahwa pesantren
adalah lembaga pendidikan keagamaan yang merupakan kelanjutan dari lembaga
pendidikan pra-Islam, yang disebut mandala. Mandala telah ada sejak sebelum majapahit
dan berfungsi sebagai pusat pendidikan semacam sekolah dan keagamaan. Bangunan
mandala dibangun di tas tanah perdikan yang memperoleh kebebasan sangat luas
dari beban-beban penyerahan pajak, kerja rodi, dan campur tangan pihak kraton
serta pemilik tanah yang tidak berkaitan dengan keagamaan. Mandala adalah
tempat yang di anggap suci karena di situ tempat tinggal para pendeta atau par
pertapa yang memberikan kehidupan yang patut di contoh masyarakat sekitar
karena kesalehannya, dan laen-laen.
Pesantren dan mandala mempunyai persamaan-persamaan,
diantaranya:
1. Sama-sama memiliki lokasi jauh dari
keramaian di pelosok yang berada pada tanah perdikan atau desa yang telah
memperoleh hak istimewa dari penguasa. Banyak pertapaan atau mandala di bagian
timur jawa di masa Hindu yang dihuni para resi yang menjalankan latihan rohani
sambil bertani. Persamaan itu ia contohkan sebagaimana sunan kalijaga yang
sering bersemedi dan melakukan tirakat di pertapaan mantingan yang sepi, yang
hal itu juga dilakukan oleh para resi dalam tradisi pra-Islam.
2. Lembaga pendidikan keagamaan Hindu
Budha mandala dan lembaga pendidikan keagamaan Islam pesantren sama-sama memiliki
tradisi ikatan guru murid. Ikatran guru murid ini merupakan ciri yang umum
dalam kehidupan di mandala, yaitu murid yang jauh dari orang tuanya diserahkan
pendidikannya kepada guru sebagai pengganti orang tua di lembaga pendidikan pra
Islam. Hubungan guru murid juga menjadi ciri dalam pendidikan Islam, terutama
karena perkembangan lembaga tarekat-tarekat yang berada di pesantren.
3. Tradisi menjalin komunikasi antardharma,
yang juga dilakukan anatar pesantren dengan perjalanan rohani atau lelana. Pengembaraan
rohani dalam islam sangat berkaitan dengan perjalanan ilmiah yang ingin dicapai
dalam tradisi pesantren, yaitu untuk menambah ilmu. Perjalanan ilmiah atau yang
sebut rihlah ilmiah memunculkan santri (berarti siswa atau murid sebuah
pesantren) yang terus menerus ingin menambah ilmunya.
4. Metode pengajarannya yang disebut
halaqah (lingkaran). Dalam halaqoh kiai biasanya duduk dekat tiang, sedangkan
para murid duduk di depannya membentuk lingkaran.
Tokoh sejarawan lain yang menduga bahwa pesantren merupakan
kelanjutan dari lembaga pendidikan keagamaan Hindu Budha mandala di tanah Jawa
adalah pendapat Simanjuntak. Ia menyatakan bahwa pesantren sebagai lembaga
pendidikan keagamaan Islam telah mengambil model dan tidak mengubah struktur
organisasi dari lembaga pendidikan mandala pada masa Hindu. Pesantren hanya
mengubah isi agama yang dipelajari, bahasa yang menjadi sarana bagi pemahaman
pelajaran agama, dan latar belakang para santrinya.
Demikian pula Abdurrahman Mas’ud berpendapat bahwa pesantren
sebagai institusi pendidikan Islam memiliki kesinambungan dengan lembaga
pendidikan gurucula yang telah ada di masa pra Islam di Jawa. Pesantren
memiliki akar budaya, ideologis, dan historis dari lembaga pendidikan Hindu
Budha yang dilestarikan dengan memberikan modifikasi substansi yang bernuansa
islami.
Pendekatan pendidikan yang digunakan Walisongo diantaranya
yaitu sebagai berikut:
a.
Pendekatan Modelling
Modelling
diartikan sebagai model, contoh, panutan. Artinya dalam menyampaikan ajaran
Islam tidak hanya sekedar memberitahu hal-hal yang sifatnya hanya kognitif
semata, tetapi juga dengan cara memberikan contoh. Islam adalah ajaran nilai
yang mana tidak akan berguna jika hanya digunakan sebatas pada pengetahuan
kognitif saja. Dengan kata lain inti dari pendidikan Islam adalah internalisasi
nilai-nilai ke-Islaman. Oleh karena itu perlu adanya sebuak objek yang bisa
dijadikan teladan atau panutan.
Yang perlu ditegaskan adalah bahwa modelling
mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa.
Walisongo sebagai penyebar ajaran Islam yang juga menjadi kiblat kaum santri
sudah barang tentu berkiblat pada para guru besar dan kepimpinan muslimin, Nabi
Muhammad SAW. Kekuatan modelling ditopang dan sejalan dengan sistem
nilai Jawa yang mementingkan paternalisme (system kepemimpinan
berdasarkan hubungan bapak dan anak) dan patron-client relation
(hubungan pelindung-klien / yang dilindungi) yang sudah mengakar dalam budaya
masyarakat Jawa.
b.
Pendekatan
Substantif
Di zaman serba
modern seperti sekarang ini, pendidikan mempunyai kedudukan amat penting di
dalamnya. Sebab tanpa pendidikan manusia tidak dapat mencapai prestasi yang
begitu tinggi dalam membangun peradaban. Suatu peradaban yang maju dan
berkembang adalah peradaban yang di dalamnya menjunjung tinggi pendidikan.
Pendekatan
substantif adalah pendekatan yang dalam pengajarannya lebih mengutamakan materi
pokok / inti pokok pengajaran. Dalam
Islam ajaran tauhid adalah satu materi pokok yang disjikan sejak awal. “Karena
lebih mengutamakan pendekatan substantive maka jika terlihat pendekatan
Walisongo sering menggunakan elemen-elemen non-Islam, sesungguhnya hal ini
adalah means atau a matter of approach, atau alat untuk mencapai
tujuan yang tidak mengurangi substaisi dan signifikansi ajaran yang diberikan.
Dengan kata lain, wisdom dan mau`idhah hasanah adalah cara yang
dipilih sesuai dengan ajaran Al-Quran (An-Nahl : 125)”.
c.
Tidak bersifat
diskriminatif
Manusia adalah makhluk yang memiliki
potensi sejak lahir. “aliran nativisme berpendapat bahwa perkembangan manusia
itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir;
pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan
hasil perkembangannya.”
“Sementara aliran emprisme berpendapat
berlawanan dengan kaum nativisme karena berpendapat bahwa dalam perkembangan
anak menjadi manusia dewasa itu sama sekali ditentukan oleh lingkungannya atau
oleh pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil.”
Dalam
Islam dikenal dengan istilah “fitrah”. Secara etimologis, asal kata fitrah dari
bahasa Arab yaitu “fitratun” jamaknya “fitarun”, artinya perangai, tabiat,
kejadian asli, agama, ciptaan. Fitrah juga terambil dari akar-akar
“Al-Fathr” yang berarti belahan. Dari makna ini lahir akna-makna lain, antara
lain “pencipta” atau “kejadian”.
Sehubungan dengan kata fitrah tersebut
ada sebuah hadits shohih diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu
Hurairah: “tidak ada satu anak pun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan
fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkannya menjadi Yahudi, Nasrani,
atau Majusi.” (HR : Bukhori dan Muslim)
Meskipun
dikatakan sebagai pendidikan yang merakyat, namun pendidikan Islam Walisongo
juga ditujukan pada penguasa. Keberhasilan Walisongo terhadap pendekatan yang
terakhir ini biasanya terungkap dalam istilah poluler Sabdo Pandito Ratu
yang berarti menyatunya pemimpin agaa dan pemimpin Negara. Dengan kata lain,
dikotomi atau gap antara ulama dan raja tidak mendapatkan tempat dalam ajaran
dasar Walisongo. Ajaran ini adalah warlsan Sunan Kalijaga, tokoh yang
mewariskan system kabupaten di Jawa.
d. Understandable
and applicable
Maksudnya
adalah mudah dipahami dan dilaksanakan. Konsep pendidikan yang tidak
muluk-muluk dan cara penyampaian yang sederhana namun mengena, lebih mudah
untuk ditangkap oleh masyarakat yang sebagian besar masih rendah tingkat
pemahamannya. Hal ini selaras dengan ajaran Nabi wa khatibinnas `ala qadri
`uqulihim.
Proses penyampaian tidak hanya dengan
ceramah tetapi juga menggunakan metode dan media lain. Seperti media pewayangan
misalnya. Wayang sebenarnya tidak berasal dari Islam, namun dengan mengganti
substansi wayang tersebut dengan inti ajaran Islam, maka proses pendidikan
Islam masih dapat dilaksanakan. Ajaran rukun Islam dengan demikian dapat
ditemukan dalam cerita pewayangan seperti syahadatain yang sering
dipersonifikasikan dalam tokoh puntadewa, tokoh tertua diantara Pandawa dalam
kisah Mahabarata. Puntadewa yang memiliki pusaka Jamus Kalimasada
(Kalimasada : Kalimah Syahadat) digambarkan sebagai raja adil yang tulus
ikhlas bekerja untuk kesejahteraan rakyatnya, yakni pemimpin yang konsisten
antara kata dan perbuatannya. Tingkah
laku yang tidak munafik ini (beriman) adalah refleksi lips of faith.
e.
Pendekatan kasih sayang
Mendidk
bukanlah sekedar transfer ilmu pengetahuan dari seorang guru kepada muridnya.
Terlalu naïf jika masih ada guru yang menganggap demikian pada zaman sekarang
ini. Lebh jauh lagi pendidika merupakan transformasi komponen-komponen
pendidikan yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan
demikian pendidikan juga mementingkan aspek moral.
Bagi
walisongo, mendidik adalah tugas dan panggilan agama. Mendidik murid sama
halnya dengan mendidik anak kandung sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini
adalah ayangi, hormati, dan jagalah anak didikmu, hargailah tingkah laku mereka
sebagaimana engkau memperlakukan anak turunmu. Beri mereka pakaian dan makanan
hingga mreka dapat menjalankan syariat Islam, dan memegang teguh ajaran agama
tanpa keraguan.
Bila
dewasa ini di Indonesia kita masih menemukan pola pendidikan yang menindas,
seperti guruyang selalu merasa paling benar, baik dalam kata, tulis, maupun
tingkah laku sehari-hari (apalagi dalam kelas), tindakan hukuman pada anak
didik yuang lebih didorong oleh emosi pribadi dan bukan pertimbangan edukatif,
maka ini semua adalah warisan penjajah yang lahir jauh setelah zaman Walisongo.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengertian
pendidikan Islam itu sendiri berarti
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses
pembelajaran, agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat
dan negara sesuai dengan ajaran Islam.
Wali songo
adalah sembilan wali yang dianggap telah
dekat dengan Allah SWT, terus menerus beribadah kepada-Nya, serta memiliki
kekeramatan dan kemampuan-kemampuan lain di luar kebiasaan manusia. Terdiri
dari Sembilan wali yaitu : Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Raden
Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan
Giri), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Qosim (Sunan Drajat), Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati), Raden Ja’far Sadiq (Sunan
Kudus), Raden Said (Sunan Kalijaga), Raden Umar Said (Sunan Muria). Adapun peranan walisongo dalam penyebaran agama Islam antara
lain:
a.
Sebagai pelopor penyebarluasan
agama Islam kepada masyarakat yang belum banyak mengenal ajaran Islam di
daerahnya masing-masing.
b.
Sebagai para pejuang yang gigih
dalam membela dan mengembangkan agama Islam di masa hidupnya.
c.
Sebagai orang-orang yang ahli di
bidang agama Islam.
d.
Sebagai orang yang dekat dengan
Allah SWT karena terus-menerus beribadah kepada-Nya, sehingga memiliki
kemampuan yang lebih.
e.
Sebagai pemimpin agama Islam di
daerah penyebarannya masing-masing, yang mempunyai jumlah pengikut cukup banyak
di kalangan masyarakat Islam.
f.
Sebagai guru agama Islam yang gigih
mengajarkan agama Islam kepada para muridnya.
g.
Sebagai kiai yang menguasai ajaran
agama Islam dengan cukup luas.
h.
Sebagai tokoh masyarakat Islam yang
disegani pada masa hidupnya.
Pendekatan
pendidikan yang digunakan Walisongo diantaranya yaitu sebagai berikut:
a. Modelling
b. Bersifat Substantif
c. Pendidikan Islam yang Tidak
Diskriminatif
d. Understandable and applicable
e. Dengan pendekatan kasih sayang
B.
SARAN
Walisongo merupakan tokoh pejuang Agama dan
Sekaligus Tokoh Pendidikan Islam, oleh karena itu sudah sepatutnya kita
mempelajari, mencontoh, dan melestarikan budaya, metode-metode yang telah
diterapkan oleh Para Wali dengan cara mengintegrasikann Metode-metode lama
dengan perkembangan zaman yang semakin modern ini.
DAFTAR PUSTAKA
Haidar Putera Daulay, Pemberdayaan Pendidikanislam di Indonesia,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm.6.
http://obedjustin.blogspot.com/2013/01/metode-dakwah-wali-songo.html
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (jakarta: Amzah, 2013),
hlm.33
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2005), hlm.8.
http://nofalliata.wordpress.com/agama-islam-dan-sekte-sektenya/islam-aceh-dan-walisongo-2/ (di akses pukul 09:45 WIB_21/03/2015)
http://bloggersumut.net/sejarah-budaya/sejarah-sembilan-wali-walisongo-wali9 (di akses pukul 10:02
WIB_21/03/2015)
http://coretan-rossi.blogspot.com/2011/06/pendidikan-islam-masa-wali-songo.html
(di akses pukul 10:30 WIB_21/03/2015)
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Kudus
(21/03/2015)
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati.(21/03/2015)
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Muria.(21/03/2015)
http://contohrpp.wordpress.com/tag/sunan-muria-atau-raden-umar-said-atau-raden-said/.(21/03/2015)
http://perkulihan.blogspot.com/2012/12/pendidikan-islam-pada-masa-wali-songo.html (di
akses pukul 09:39 WIB_21/3/2015)
http://mitracap.blogspot.com/2012/12/metode-pendidikan-walisongo.html
[1]
Haidar
Putera Daulay, Pemberdayaan Pendidikanislam di Indonesia, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2009), hlm.6.
[3] Sri Minarti, Ilmu
Pendidikan Islam, jakarta, Amzah, 2013. Hal.33
[5]
Lihat : http://nofalliata.wordpress.com/agama-islam-dan-sekte-sektenya/islam-aceh-dan-walisongo-2/ (di
akses pukul 09:45 WIB_21/03/2015)
[6] Lihat : http://bloggersumut.net/sejarah-budaya/sejarah-sembilan-wali-walisongo-wali9 (di akses pukul 10:02 WIB_21/03/2015)
[8] Lihat : http://nofalliata.wordpress.com/agama-islam-dan-sekte-sektenya/islam-aceh-dan-walisongo-2/ (di
akses pukul 10:20 WIB_21/03/2015)
[9] Lihat : http://coretan-rossi.blogspot.com/2011/06/pendidikan-islam-masa-wali-songo.html
(di akses pukul 10:30 WIB_21/03/2015)
[14] Lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Muria.(21/03/2015)
[15] Lihat:
http://contohrpp.wordpress.com/tag/sunan-muria-atau-raden-umar-said-atau-raden-said/.(21/03/2015)