KATA PENGANTAR
بِسْÙ…ِ اللهِ
الرَّØْÙ…َÙ†ِ الرَّØِÙŠْÙ…ِ
Assalamu’alaikum wr,wb.
Alhamdulillahi
robbil’alamiin,,Puja dan puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmad dan hidayahNya
kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “KONSEP TUHAN, ALAM
DAN MANUSIA MENURUT IBN THUFAIL”.makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam serta memberikan pengetahuan baru bagi penulis dan pembaca
mengenai Konsep Tuhan,Alam dan Manusia Menurut Ibn Thufail.
Terimakasih
kami ucapkan kepada pihak yang telah membantu,sehingga makalah ini bisa
tersusun dengan baik,diantarnya:
1. YOGI PRANNA IZZA.M.Pd.I, selaku
dosen filsafat islam.
2. Teman sejawat yang telah
menyumbangkan ilmu dan informasinya.
Semoga
makalah ini dapat membawa manfaat bagi kami khususnya dan orang lain yang telah
membaca makalah ini umumnya.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dengan tujuan agar makalah
ini selanjutnya akan menjadi
lebih baik. Aamiin.
Wassalamu’alaikum
wr,wb.
Bojonegoro, Oktober 2014
penyusun
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
……………………………………………………….. i
DAFTAR ISI
…………………………………………………………………. ii
BAB
1 PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
……………………………………………….. 1
B.
Rumusan Masalah
……………………………………………. 1
C. Tujuan
pembahasan …………………………………………... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibn Thufail………………………......................... 2
B.
Perkembangan Filsafat
Pada Masa Ibnu Thufail
................ 3
C.
Filsafat Ibnu Tufail ............................................................. 4
1. Metafisika (Ketuhanan)
................................................. 5
2. Alam
.............................................................................. 6
3.
Jiwa ................................................................................. 6
4. Epistemologi………….................................................. 7
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………….. 9
B. Saran ................................................................
......................... 9
DAFTAR
PUSTAKA ………………………………………….......... 10
BAB I
PENDAHULUN
A. Latar Belakang
Pada zaman pertengahan,
Islam di Barat dan Timur telah mencapai puncaknya. Baik dalam pemerintahan
maupun ilmu pengetahuan. Tapi Islam di Barat (Spanyol) lebih menjadi perhatian
dunia ketika mampu mentranfer khazanah-khazanah Islam di Timur. Dan bahkan
mengembangkannya. Filsuf-filsuf yang karya-karya besarnya banyak dikaji dunia,
lahir di kota ini. Diantaranya, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd dan
masih banyak lagi yang lainnya.
Ibnu Thufail dikatakan
orang berada di suatu tingkat yang ajaib dalam ilmunya, yakni berada dalam
tingkat mistik yang penuh kegembiraan. Beberapa orang menganggapnya sebagai
orang panteis orang yang menganggap tidak ada beda lagi antara dirinya dengan
Tuhan. Anggapan ini ternyata salah. Ia sebenarnya hanya seperti juga Al Ghazali
, merasa telah mencapai tingkat ma’rifat yang tinggi seperti katanya: ”Fakana
makana mimma lastu adkuruhu. Fadhonnu khoiran wala tasal anil khobari.”
(terjadilah sesuatu yang tidak akan disebutkan akan tetapi sangkalah dia
sebagai suatu kebaikan juga, dan jangan tanya tentang beritanya).
Ibnu Thufail yang
menjadi kajian dalam makalah ini, juga mampu menyihir para cendekiawan dunia
dengan karya monumentalnya, Hayy Ibnu Yaqzhan. Salah satu karya yang tersisa
dalam sejarah pemikirannya. Risalah atau novel alegori yang bertajuk
filosofis-mistis itu, menyita banyak perhatian. Hayy ibnu Yaqzhan adalah
refleksi dari pengalaman filosofis-mistis Ibnu Thufail. Dimana karya itu tidak
lepas dari penbacaan ulang atau pengaruh dari pemikiran Ibnu Shina. Namun Ibnu
Thufail di sini menghadirkan karya yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep
Tuhan menurut ibn thufail ?
2. Bagaimanakah konsep
Alam menurut ibn thufail?
3. Bagaimanakah konsep Manusia
menurut ibn thufail?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Dapat mengetahui sejarah atau biografi dari ibn thufail.
2.
Dapat memahami knsep ketuhanan menurut ibn thufail.
3.
Dapat memahami knsep alam menurut ibn thufail.
4.
Dapat memahami knsep manusia menurut ibn thufail.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Thufail
Nama lengkap Ibnu
Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibn Abd Al-Malik ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn
Thufail Al-Qaisyi, di Barat dikenal dengan abudecer. Ia adalah pemuka pertama
dalam pemikiran filosofis mawahhid yang berasal dari Spanyol.Ibnu Thufail lahir
pada tahun 506 H/1110 M atau pada Abad VI H/XIII M di kota Guadix, Provinsi
Granada. Keturunan Ibnu Thufail termasuk keluarga suku arab yang terkemuka,
yaitu suku Qaisy.
Karier Ibnu Thufail
bermula sebagai dokter praktik di Granada. karena ketenaran atas jabatan
tersebut, maka ia diangkat menjadi Sekretaris Gubenur di Provinsi itu.pada
tahun 1154 M (549 H). Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi gubernur Ceuta
dan Tangier, pengusaha muwahhid Spanyol pertama yang merebut Maroko. Dan
dia menjabat dokter tinggi dan menjadi qhadi di pengadilan pada kholifah
Mawahhid Abu Ya’qub Yusuf (558 H/1163 M-580 H./ 1184 M ).
Ibnu Thufail adalah
seorang dokter, filosof, ahli matematika dan penyair yang sangat terkenal dari
mawahhid spanyol, akan tetapi sedikit karya-karyanya yang di kenal orang.Ibnu
Khotib menganggap dua risalah mengenai ilmu pengobatan itu sebagai karyanya. Al
Bitruji (muridnya) dan ibnu rusyd percaya bahwa dia memiliki gagasan-gagasan
astonomis asli. Al-Bitruji membuat sangkalan atas teori ptolemeos mengenai
epicycles dan eccentric cirles, yang dalam kata pengantar dari karyanya kitab
Al-Hai’ah dikemukakannya sebagai sumbangan dari gurunya Ibnu Thufail. dengan
mengutip perkataan Ibnu Rusyd, Ibn Abi Usaibiah menganggap fi al buqa’Al
maskunah wal-ghair Al maskunah sebagai karya Ibnu Thufail, tapi dalam
catatan ibnu rusyd sendiri acuan semacam itu tidak dapat
ditemukan.Al-Marrakushi, yang ahli sejarah itu mengaku telah melihat naskah
asli dari salah satu risalahnya mengenai ilmu keTuhanan. Miquel Casiri ( 1112
H/1710 M -1205 H/1790 M ) menyebutkan dua karya yang masih ada: risalah Hayy
ibn Yaqzan dan asrar Al hikmah Al mashariqiyah, yang disebut
terakhir ini berbentuk naskah.kata pengantar dari asrar menyebutkan bahwa
risalah itu hanya merupakan satu bagian dari risalah Hayy Ibn Yaqzan,
yang judul lengkapnya ialah Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Asrar Al hikamat Al
mashariqiyah.
B. Perkembangan Filsafat
Pada Masa Ibnu Thufail
Pemikiran dan hasil
karya para tokoh Islam khususnya dalam bidang filsafat tentunya sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya dan politik pada masanya, begitu juga
masa-masa sebelumnya. Karena pemikiran merupakan produk budaya dari sebuah
masyarakat, dimana seseorang itu hidup, tumbuh dan dibesarkan. Pada massa
kekuasaan Umayyah, Abad pertengahan, Islam pernah berjaya di Cordova Spanyol.
Waktu itu cordova menjadi salah satu pusat peradaban dunia.
Budaya seni, sastra,
filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang disana. Tokoh-tokoh besar Islam juga
banyak yang lahir di sana. Seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Masarrah, Ibnu ‘Arabi,
Ibnu Hazm, asy-Syathibi dan sejumlah tokoh lainnya. Mereka ini berhasil
menempatkan filsafat sebagai kajian yang berkembang disana. Seperti yang
dikatakan Abed al-Jabiri, para tokoh tersebut telah berhasil membangun tradisi
nalar kritis yang ditegakkan di atas struktur berfikir demonstratif (nizham
al-aql al-burhani). Atau yang kemudian dikenal sebagai “epistemologi burhani”.
Oleh karena itu,
sebenarnya tradisi pemikiran filsafat sudah diterapkan sejak dinasti Umayyah
berdiri. Tradisi-tradis keilmuan lain, seperti syari’ah, mistis (tasawuf), dan
iluminis (Isyraqi) juga terus mengalami pekembangan. Tradisi-tradisi keilmuan
seperti inilah yang nantinya mempengaruhi pemikiran Ibnu Thufail. Walaupun perkembangan
keilmuan ini mengalami pasang-surut mengikuti kondisi politik pemerintahan yang
sedang berkuasa.
Kegiatan intelektual di
bidang filsafat dan ilmu pengetahuan mendapat perhatian penuh pada masa
khalifah al-Hakam al-Mustanshir Billah (961-976), putra dari khalifah pertama,
Abdurrahman ad-Dakhil. Pada masa ini juga dapat dikatan semaraknya transmisi
keilmuan dari Timur ke Barat. Karena setelah pendirian lembaga ilmu pengetahuan
tidak cukup menampung murid lagi, para cendikian muslim di Barat berhijrah ke
Timur yaitu mulai dari Mesir, syam, Hijaz, hingga ke Baghdad untuk menuntut
ilmu.
Al-hakam sangat cinta
dengan ilmu pengetahuan, sehingga ia bersedia menanggung biaya untuk tujuan
ekspedisi ke berbagai Negara. Itulah yang menjadi faktor utama bagi kegemaran
umat Islam untuk menuntut ilmu dan mendalami buku-buku filsafat. Menyangkut hal
ini, penulis sejarah filsafat dalam Islam, De Boer berpendapat bahwa peradaban
yang dicapai pada masa al-Hakam lebih megah dan lebih produktif daripada yang
dicapai oleh dunia Islam Timur.
Seiring berjalannya
waktu, sejarah mengatakan tidak selamanya zaman keemasan ini berlangsung hidup.
Setelah tampuk kekuasaan digantikan oleh putra al-Hakam, Hisyam al-Mu’ayyid
Billah. Karena dia lebih cenderung kepada pengetahuan syari’at dan anti
filsafat. Akhirnya kegiatan intelektual pun kembali fakum dan ajaran filsafat
kembali dikatan sesat.
Walaupun kondisi sangat
tidak mendukung, kegiatan menekuni filsafat dilakukan secara sembunyi. Sampai
akhirnya berdirilah dinasti al-Muwahhidin, dimana ketika pemerintahan dipegang
oleh Abu Ya’qub Yusuf al-Mansur (558-580 H) filsafat mulai terlihat titik
terangnya. Masa inilah Ibnu Thufail hidup dengan menekuni bidang filsafat.
Kedekatannya dengan penguasa, bahkan dipercaya sebagai dokter dan penasehat
pribadi khalifah, maka kegiatan filsafat mulai diterima kembali. Tapi hanya
dalam lingkungan istana atau terbatas pada kaum elit saja.
Masyarakat masih
menganggap filsafat sebagai ajaran yang sesat dan bertentangan dengan agama
Islam. Dalam situasi yang tidak kondusif inilah Ibnu thufail terus menggali
keilmuannya, sehinga lahir karyanya “Hayy ibnu yaqzhan”. Dan dapat disimpulkkan
mengapa Ibnu Thufail menggunakan bahasa symbol dalam karyanya tersebut. Dengan
bahasa yang sederhana, diharapkan masyarakat akan mudah memahami dan lambat
laun menerima filsafat sebagai kajian keilmuan. Bahkan sebagai metode berfikir
dan cara pandang hidup.
C. Filsafat Ibnu Tufail
Filsafat ibnu Thufail
merupakan pemikiran yang baru dalam filsafat islam yang belum pernah dilakukan
para filosof muslim sebelumnya. Terutama dalam hal pembuktian adanya tuhan.
Penjabaran yang diberikan ibnu Thufail cukup gamlang dan dapat dipahami oleh
nsemua golongan orang. Berbeda dengan Ibnu Sina. Pembagian wajib al wujud
min ghairih dan mumkin al wujud bi dzatihi, seperti yang
dikatakan Prof. Dr. H . Sirajudin Zar, yang dikutib dari Muhammad Athif Al
Iraqiy, agak membingungkan. Karena dalam konsep Wajib ada unsur mumkin.
Secara umum, pemikiran
filsafat ibnu Thufail dapat kita lihat dalam karyanya: Hay Ibnu Yaqhan.
Roman Filsafat itu menggambarakan orang yang mempunyai akal fikiran sebagai
fitroh bagi setiap manusia. Absal merupakan orang yang berilmu dan beragama
islam, dimana ilmunya telah dilengkapi dengakan wahyu. Sedangkan salman
menggambarkan tentang masyarakat.
Sebagaimana diketahui,
Ibnu Thufail tidak merasa puas dengan filsafat Al Ghazali untuk mencari
kebahagiaan dan kebenaran tuhan, tetapi lebih cendrung kepada perenungan
fikiran sebagaimana dilakukan Al Farabi. Ibnu Thufail termasuk pengikut aliran
Kontemplatif filsafat arab yang disebut isyrok, suatu teori neo platonisme kuno
dan dekat dengan aspirasinya kepada mistik modern. Menurut Amir Ali,
sebagaimana dikutip oleh Muslim Ishak dalam buku Tokoh-tokoh Filsafat Islam
Dari Barat, Filsafat Kontemplatif Ibnu Thufail tidak didasarkan atas
exsaltasi mistik, tetapi atas suatu mode yang mana intuisi digabungkan dengan
pencarian akal. Hal ini dapat dilihat sebagaimana dalam kisah Hay, dimana, akal
memiliki perkembangan yang berngsur-angsur dan berturut-turut dari seseorang
yang tidak mendapat asupan pendidikan dari luar.
1. Metafisika (Ketuhanan)
Seperti para filosof sebelumnya, ibnu Thufail memulai filsafatnya dengan
filsafat ketuhanan. Dalam membuktikan adanya tuhan ibnu Thufail mengemukakan
tiga argument sebagai berikut:
a. Argumen Gerak
Gerak alam menjadi
bukti adanya Allah. Baik bagi orang yang meyakini alam baharu maupun bagi orang
yang yang meyakini alam kadim. Bagi orang yang meyakini alam itu baharu, gerak
alam berarti dari ketiadaan hingga alam itu ada (diciptakan). Oleh karena itu,
keberadaan alam dari ketiadaan itu mestilah membutuhkan pencipta yaitu Allah.
Sementara bagi orang yang mengatakan bahwa alam itu kadim, gerak alam berarti
tidak berawal dan tidak berakhir. Karena zaman tidak mendahuluinya, arti gerak
ini tidak didahului oleh diam. Disini, penggerak alam (Allah) berfungsi
mengubah materi dari alam potensial ke actual. Mengubah dari satu bentuk
kebentuk yang lain.
Sirajuddin Zar dalam
buku filsafat islam, Filosof dan filsafatnya mengatakan, inilah letak
keistimewaan argumen gerak ibnu thufail, yakni dapat dipahami oleh semua
golongan. Dengan argumen diatas, secara tidak langsung, Ibnu Thufail memperkuat
argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah.
b. Argumen Materi
Argumen gerak Ibnu
Thufail juga digunakan untuk mebuktikan adanya tuhan. Argumen ini didasarkan
pada ilmu fisika yang masih ada korelasinya dengan argumen yang pertama (al
harakat). Hal ini dikemukakan Ibnu Thufail dalam kelompok pikiran yang terkait
satu sama lain yakni, segala yang ada tersusun dari materi dan bentuk, setiap
materi membutuhkan bentuk, bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak dan
segala yang ada untuk bereksistensi membutuhkan pencipta.
Bagi yang meyakini alam
itu kadim, pencipta ini berfungsi mengeksistensikan wujud dari suatu bentuk ke
bentuk yang lain. Sementara bagi yang meyakini alam itu baru, pencipta
berfungsi menciptakan dari ketiadaan menjadi ada. Pencipta disini, merupakan ilat
(sebab) dan alam merupakan ma’lul (akibat).
c. Argumen Alghaiyyat dan Al-inayat
al ilahiyat
Argumen ini sebenarnya
pernah dikemukakan oleh Ibnu Sina. Tiga sebab yang dikemukakan oleh aristoteles
yaitu materi, bentuk dan pencipta. Ibnu sina melengkapinya dengan ilat al
ghaliyat, sebab tujuan.
Menurut Ibnu Thufail,
bahwa segala yang ada di alam ini memiliki tujuan. Tertentu. Ini merupakan
inayah dari Allah. Ibnu thufail yang berpegang pada argument ini sesuai dengan
Al qur’an, menolak bahwa alam diciptakan secara kebetulan. Alam ini, masih
menurut ibnu Thufail, sangat rapi dan sangat teratur. Semua planet, begitu juga
jenis hewan dan anggota tubuh pada manusia memiliki tujuan tertentu. Demikian
tiga argument yang dikemukakan Ibnu Thufail.
Adapun mengenai Dzat
Allah, Ibnu Thufail sependapat dengan kaum Mu’tazilah sifat-sifat Allah yang
maha sempurna tidak berlainan dengan Dzat-Nya. Allah berkuasa bukan dengan
sifat ilmu dan kudrat yang dimiliki. Melainkan dengan Dzat Allah itu Sendiri.
2. Alam
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung mengenai golongan yang mengakui
bahwa alam itu baru atau mereka yang mengakui alam itu kadim. Mengenai alam
ini, Ibnu Thuifail merupakan penganut keduanya. Ia mempercayai bahwa alam itu baru
sekaligus alam itu kadim. Alam itu kadim, menurut Ibnu Thufail, karena ia
diciptakan sejak azali, tanpa di dahului zaman. Alam disebut baru karena ia
membutuhkan dan bergantung pada Dzat Allah.
Ibnu Thufail mencontohkan, ketika seseorang menggenggam suatu benda,
kemudian ia gerakkan benda tersebut, maka benda itu mesti bergerak mengikuti
gerak tangan orang tersebut. Gerakan benda tersebut tidak terlambat dari segi
zaman dan hanya terlambat dari segi zat. Demikian alam ini, keseluruhan
merupakan akibat dan diciptakan Allah tanpa zaman.
3. Jiwa
Jiwa menurut Ibnu Thufail adalah makhluk yang tertinggi martabatnya.
Manusia Terdiri dari dua Unsur yakni jasad dan roh (al-madat al ruh).
Badan tersusun dari unsur-unsur sedangkan jiwa tidak. Jiwa bukan jisim dan
bukan pula sesuatu yang ada didalam jisim. Setelah badan hancur atau mengalami
kematian, jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal
Allah yang berada di dalam jasad akan hidup dan kekal.
Jiwa terdiri dari tiga tingkat: jiwa tumbuhan (an-nafs al nabawiyat),
jiwa jiwa hewan dan jiwa manusia. Ketiga jiwa tersebut merupakan sebuah
tingkatan dari yang terendah hingga tertinggi yaitu jiwa manusia. Dalam
menjabarkan hal ini, Ibnu Thufail kemudian mengelompokkan jiwa hubungannya
dengan Allah kedalam tiga golongan:
a. Jiwa yang sebelum
mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi kebesaran dan
keagungannya, dan selu ingat kepadanya, maka jiwa seperti ini akan kekal dalam
kebahagiaan.
b. Jiwa yang mengenal
Allah Namun bermaksiat, akan abadi dalam kesengsaraan.
c. Jiwa yang tidak
mengenal allah sealam Hidupnya, akan berakhir seperti hewan.
Dalam hal ini, Sirajudin Zar dalam buku Filsafat Islam berkomentar:
“Agaknya Ibnu Thufail meletakkan tanggung jawab manusia dihadapan Allah atas
dasar pengetahuannya tentang Allah. Orang yang tahu kepada Allah dan
menjalankan kebaikan, akan kekal dalam kebahagiaan”.
4. Epistimologi
Ibnu Thufail mengatakan, seperti tersirat dalam kisah Hay Ibnu Yaqdan,
Bahwa ma’rifat dimulai dari panca indra. Hal yang bersifat metafisis dapat
diketahui dengan akal dan intuisi. Ma’rifat dapat dilakukan dengan dua cara:
pemikiran atau renungan akal seperti yang dilakukan filosof muslim; dan tasawuf
seperti yang dilakukan oleh kaum sufi. kesesuaian antara nalar dan intuisilah
yang membentuk epistimologi Ibnu Thufail. Menurut Ibnu Thufail, Ma’rifat dengan
tasawuf dapat dilakukan dengan latihan-latihan rohani dengan penuh kesungguhan.
Semakin tinggi latihan itu, maka semakin jelas dan hakikat semakin tersingkap.
kebenaran yang dimaksud
sebagaimana disimpulkan oleh Nadhim al-Jisr dalam buku Qissat al Imam yang juga
dikutib Ahmad Hanafi dalam buku Pengantar Filsafat Islam yaitu:
1. Urutan Tangga Ma’rifat
yang ditempuh oleh akal dimulai dari obyek indrawi yang khusus kepada pikiran
universal.
2. Tanpa pengajaran dan
tanpa petunjuk, akal manusia dapat mengetahui tanda-tanda pada makhluknya dan
menegakkan dalil-dalil atas wujudnya.
3. Akal manusia
kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan dalam mengemukakan
dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak ingin menggambarkan keazalian mutlak,
ketidak-akhir-an, zaman qadim, hudus dan dalil yang sejenis dengan itu.
4. Baik Akan menguatkan
qadimnya alam atau baharunya, namun kelanjutan dari kepercayaan tersebut adalah
satu juga yaitu tuhan.
5. Manusia dengan akalnya
sanggup menemukan dasar-dasar keutamaan dan dasar-dasar akhlak yang bersifat
amali dan kemasyarakatan, serta berhiaskan diri dengan keutamaan-keutamaan
dasar akhlak tersebut, disamping menundukkan keinginan-keinginan badan pada
hukum pikiran, tanpa ,melalaikan hak badan atau meninggalkan sama sekali.
6. Apa yang diperintahkan
oleh syariat islamdan apa yang diketahui oleh akal yang sehat dengan
sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan dapat bertemu kedua-duanya
dalam satu titik, tanpa dipersilisihkan lagi.
7. Pokok dari semua hikmah
ialah apa yang ditetapkan oleh syara’ yaitu mengarahkan pembicaraan kepada
orang lain menurut kesanggupan akalnya, tanpa membuka kebenaran dan
rahasia-rahasia filsafat kepada mereka. Juga pangkal dari segala kebaikan ialah
menetapi batas-batas syara’ dan meninggalkan pendalaman sesuatu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari beberapa pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Ibnu Thufail Merupakan
salah seorang filosof muslim yang memiliki corak pemikiran yang berbeda yang
tidak dimiliki oleh filosof sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari corak
filsafatnya, terutama dalam membuktikan eksistensi tuhan
2. Dalam berfilsafat,
meskipun Ibnu Thufail mengakui bahwa tanpa wahyu akal bisa mencapai tuhan, Ibnu
Thufail tidak menafikan wahyiu sebagai salah satu sumber pengetahuan tidak
menuhankan akal secara mutlak. Ia masih mengakui adanya peran wahyu.
3. Keselarasan antara
peran akal dan wahyu merupakan inti dari filsafat Ibnu Thufail
B. SARAN
Semoga dengan sedikit
pembahasan diatas dapat memberikan referensi dan pengetahuan,serta wawasan baru
tentang konsep ketuhanan,alam dan manusia menurut ibn thufail bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumya
DAFTAR PUSTAKA
Sirajuddin Zar (Filsafat
Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007)
Mustofa, Filsafat
Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, h. 272
Hanafi, Pengantar
Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990) hal. 161
Muslim Ishak, Tokoh-tokoh
Filsafat Islam Dari Barat, (Bina Ilmu: surabaya), hal. 40.
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh filsuf Muslim pembuka Pintu Gerbang
Filsafat Barat dan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hal 179.