KATA PENGANTAR
بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Assalamu’alaikum
wr,wb.
Alhamdulillahi
robbil’alamiin,,Puja dan puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmad dan hidayahNya kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “KONSEP TUHAN, ALAM
DAN MANUSIA MENURUT IBN THUFAIL”.makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam serta memberikan
pengetahuan baru bagi penulis dan pembaca mengenai Konsep
Tuhan,Alam dan Manusia Menurut Ibn Thufail.
Terimakasih
kami ucapkan kepada pihak yang telah membantu,sehingga makalah ini bisa
tersusun dengan baik,diantarnya:
1. YOGI PRANNA
IZZA.M.Pd.I, selaku dosen filsafat islam.
2. Teman
sejawat yang telah menyumbangkan ilmu dan informasinya.
Semoga
makalah ini dapat membawa manfaat bagi kami khususnya dan orang lain yang telah
membaca makalah ini umumnya.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dengan tujuan agar makalah
ini selanjutnya akan menjadi lebih baik. Aamiin.
Wassalamu’alaikum
wr,wb.
BAB I
PENDAHULUN
A.
Latar Belakang
Pada zaman pertengahan, Islam di Barat dan Timur telah
mencapai puncaknya. Baik dalam pemerintahan maupun ilmu pengetahuan. Tapi Islam
di Barat (Spanyol) lebih menjadi perhatian dunia ketika mampu mentranfer
khazanah-khazanah Islam di Timur. Dan bahkan mengembangkannya. Filsuf-filsuf
yang karya-karya besarnya banyak dikaji dunia, lahir di kota ini. Diantaranya,
Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ibnu Thufail dikatakan orang berada di suatu tingkat
yang ajaib dalam ilmunya, yakni berada dalam tingkat mistik yang penuh
kegembiraan. Beberapa orang menganggapnya sebagai orang panteis orang yang
menganggap tidak ada beda lagi antara dirinya dengan Tuhan. Anggapan ini
ternyata salah. Ia sebenarnya hanya seperti juga Al Ghazali , merasa telah
mencapai tingkat ma’rifat yang tinggi seperti katanya: ”Fakana makana mimma
lastu adkuruhu. Fadhonnu khoiran wala tasal anil khobari.” (terjadilah
sesuatu yang tidak akan disebutkan akan tetapi sangkalah dia sebagai suatu
kebaikan juga, dan jangan tanya tentang beritanya).
Ibnu Thufail yang menjadi kajian dalam makalah ini,
juga mampu menyihir para cendekiawan dunia dengan karya monumentalnya, Hayy
Ibnu Yaqzhan. Salah satu karya yang tersisa dalam sejarah pemikirannya. Risalah
atau novel alegori yang bertajuk filosofis-mistis itu, menyita banyak
perhatian. Hayy ibnu Yaqzhan adalah refleksi dari pengalaman filosofis-mistis
Ibnu Thufail. Dimana karya itu tidak lepas dari penbacaan ulang atau pengaruh
dari pemikiran Ibnu Shina. Namun Ibnu Thufail di sini menghadirkan karya yang
berbeda.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep Tuhan menurut ibn thufail ?
2. Bagaimanakah konsep Alam menurut ibn thufail?
3. Bagaimanakah konsep Manusia menurut ibn thufail?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Dapat mengetahui
sejarah atau biografi dari ibn thufail.
2.
Dapat memahami knsep ketuhanan
menurut ibn thufail.
3.
Dapat memahami knsep alam menurut
ibn thufail.
4.
Dapat memahami knsep manusia
menurut ibn thufail.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibnu Thufail
Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibn
Abd Al-Malik ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Thufail Al-Qaisyi, di Barat dikenal
dengan abudecer. Ia adalah pemuka pertama dalam pemikiran filosofis mawahhid
yang berasal dari Spanyol.Ibnu Thufail lahir pada tahun 506 H/1110 M atau pada
Abad VI H/XIII M di kota Guadix, Provinsi Granada. Keturunan Ibnu Thufail
termasuk keluarga suku arab yang terkemuka, yaitu suku Qaisy.
Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di
Granada. karena ketenaran atas jabatan tersebut, maka ia diangkat menjadi
Sekretaris Gubenur di Provinsi itu.pada tahun 1154 M (549 H). Ibnu Thufail
menjadi sekretaris pribadi gubernur Ceuta dan Tangier, pengusaha muwahhid
Spanyol pertama yang merebut Maroko. Dan dia menjabat dokter tinggi dan menjadi
qhadi di pengadilan pada kholifah Mawahhid Abu Ya’qub Yusuf (558 H/1163 M-580
H./ 1184 M ).
Ibnu Thufail adalah seorang dokter, filosof, ahli
matematika dan penyair yang sangat terkenal dari mawahhid spanyol, akan tetapi
sedikit karya-karyanya yang di kenal orang.Ibnu Khotib menganggap dua risalah
mengenai ilmu pengobatan itu sebagai karyanya. Al Bitruji (muridnya) dan ibnu
rusyd percaya bahwa dia memiliki gagasan-gagasan astonomis asli. Al-Bitruji
membuat sangkalan atas teori ptolemeos mengenai epicycles dan eccentric cirles,
yang dalam kata pengantar dari karyanya kitab Al-Hai’ah dikemukakannya sebagai
sumbangan dari gurunya Ibnu Thufail. dengan mengutip perkataan Ibnu Rusyd, Ibn
Abi Usaibiah menganggap fi al buqa’Al maskunah wal-ghair Al maskunah
sebagai karya Ibnu Thufail, tapi dalam catatan ibnu rusyd sendiri acuan semacam
itu tidak dapat ditemukan.Al-Marrakushi, yang ahli sejarah itu mengaku telah
melihat naskah asli dari salah satu risalahnya mengenai ilmu keTuhanan. Miquel
Casiri ( 1112 H/1710 M -1205 H/1790 M ) menyebutkan dua karya yang masih ada:
risalah Hayy ibn Yaqzan dan asrar Al hikmah Al mashariqiyah, yang
disebut terakhir ini berbentuk naskah.kata pengantar dari asrar menyebutkan
bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian dari risalah Hayy Ibn Yaqzan,
yang judul lengkapnya ialah Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Asrar Al hikamat Al
mashariqiyah.
B.
Perkembangan Filsafat Pada Masa Ibnu Thufail
Pemikiran dan hasil karya para tokoh Islam khususnya
dalam bidang filsafat tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya
dan politik pada masanya, begitu juga masa-masa sebelumnya. Karena pemikiran
merupakan produk budaya dari sebuah masyarakat, dimana seseorang itu hidup,
tumbuh dan dibesarkan. Pada massa kekuasaan Umayyah, Abad pertengahan, Islam
pernah berjaya di Cordova Spanyol. Waktu itu cordova menjadi salah satu pusat
peradaban dunia.
Budaya seni, sastra, filsafat dan ilmu pengetahuan
berkembang disana. Tokoh-tokoh besar Islam juga banyak yang lahir di sana.
Seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Masarrah, Ibnu ‘Arabi, Ibnu Hazm, asy-Syathibi dan
sejumlah tokoh lainnya. Mereka ini berhasil menempatkan filsafat sebagai kajian
yang berkembang disana. Seperti yang dikatakan Abed al-Jabiri, para tokoh
tersebut telah berhasil membangun tradisi nalar kritis yang ditegakkan di atas
struktur berfikir demonstratif (nizham al-aql al-burhani). Atau yang kemudian
dikenal sebagai “epistemologi burhani”.
Oleh karena itu, sebenarnya tradisi pemikiran filsafat
sudah diterapkan sejak dinasti Umayyah berdiri. Tradisi-tradis keilmuan lain,
seperti syari’ah, mistis (tasawuf), dan iluminis (Isyraqi) juga terus mengalami
pekembangan. Tradisi-tradisi keilmuan seperti inilah yang nantinya mempengaruhi
pemikiran Ibnu Thufail. Walaupun perkembangan keilmuan ini mengalami
pasang-surut mengikuti kondisi politik pemerintahan yang sedang berkuasa.
Kegiatan intelektual di bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan mendapat perhatian penuh pada masa khalifah al-Hakam al-Mustanshir
Billah (961-976), putra dari khalifah pertama, Abdurrahman ad-Dakhil. Pada masa
ini juga dapat dikatan semaraknya transmisi keilmuan dari Timur ke Barat.
Karena setelah pendirian lembaga ilmu pengetahuan tidak cukup menampung murid
lagi, para cendikian muslim di Barat berhijrah ke Timur yaitu mulai dari Mesir,
syam, Hijaz, hingga ke Baghdad untuk menuntut ilmu.
Al-hakam sangat cinta dengan ilmu pengetahuan,
sehingga ia bersedia menanggung biaya untuk tujuan ekspedisi ke berbagai
Negara. Itulah yang menjadi faktor utama bagi kegemaran umat Islam untuk
menuntut ilmu dan mendalami buku-buku filsafat. Menyangkut hal ini, penulis
sejarah filsafat dalam Islam, De Boer berpendapat bahwa peradaban yang dicapai
pada masa al-Hakam lebih megah dan lebih produktif daripada yang dicapai oleh
dunia Islam Timur.
Seiring berjalannya waktu, sejarah mengatakan tidak
selamanya zaman keemasan ini berlangsung hidup. Setelah tampuk kekuasaan digantikan
oleh putra al-Hakam, Hisyam al-Mu’ayyid Billah. Karena dia lebih cenderung
kepada pengetahuan syari’at dan anti filsafat. Akhirnya kegiatan intelektual
pun kembali fakum dan ajaran filsafat kembali dikatan sesat.
Walaupun kondisi sangat tidak mendukung, kegiatan
menekuni filsafat dilakukan secara sembunyi. Sampai akhirnya berdirilah dinasti
al-Muwahhidin, dimana ketika pemerintahan dipegang oleh Abu Ya’qub Yusuf
al-Mansur (558-580 H) filsafat mulai terlihat titik terangnya. Masa inilah Ibnu
Thufail hidup dengan menekuni bidang filsafat. Kedekatannya dengan penguasa,
bahkan dipercaya sebagai dokter dan penasehat pribadi khalifah, maka kegiatan
filsafat mulai diterima kembali. Tapi hanya dalam lingkungan istana atau
terbatas pada kaum elit saja.
Masyarakat masih menganggap filsafat sebagai ajaran
yang sesat dan bertentangan dengan agama Islam. Dalam situasi yang tidak
kondusif inilah Ibnu thufail terus menggali keilmuannya, sehinga lahir karyanya
“Hayy ibnu yaqzhan”. Dan dapat disimpulkkan mengapa Ibnu Thufail menggunakan
bahasa symbol dalam karyanya tersebut. Dengan bahasa yang sederhana, diharapkan
masyarakat akan mudah memahami dan lambat laun menerima filsafat sebagai kajian
keilmuan. Bahkan sebagai metode berfikir dan cara pandang hidup.
C.
Filsafat Ibnu Tufail
Filsafat ibnu Thufail merupakan pemikiran yang baru
dalam filsafat islam yang belum pernah dilakukan para filosof muslim
sebelumnya. Terutama dalam hal pembuktian adanya tuhan. Penjabaran yang
diberikan ibnu Thufail cukup gamlang dan dapat dipahami oleh nsemua golongan
orang. Berbeda dengan Ibnu Sina. Pembagian wajib al wujud min ghairih dan
mumkin al wujud bi dzatihi, seperti yang dikatakan Prof. Dr. H .
Sirajudin Zar, yang dikutib dari Muhammad Athif Al Iraqiy, agak membingungkan.
Karena dalam konsep Wajib ada unsur mumkin.
Secara umum, pemikiran filsafat ibnu Thufail dapat
kita lihat dalam karyanya: Hay Ibnu Yaqhan. Roman Filsafat itu
menggambarakan orang yang mempunyai akal fikiran sebagai fitroh bagi setiap
manusia. Absal merupakan orang yang berilmu dan beragama islam, dimana ilmunya
telah dilengkapi dengakan wahyu. Sedangkan salman menggambarkan tentang
masyarakat.
Sebagaimana diketahui, Ibnu Thufail tidak merasa puas
dengan filsafat Al Ghazali untuk mencari kebahagiaan dan kebenaran tuhan,
tetapi lebih cendrung kepada perenungan fikiran sebagaimana dilakukan Al
Farabi. Ibnu Thufail termasuk pengikut aliran Kontemplatif filsafat arab yang
disebut isyrok, suatu teori neo platonisme kuno dan dekat dengan aspirasinya
kepada mistik modern. Menurut Amir Ali, sebagaimana dikutip oleh Muslim Ishak
dalam buku Tokoh-tokoh Filsafat Islam Dari Barat, Filsafat Kontemplatif
Ibnu Thufail tidak didasarkan atas exsaltasi mistik, tetapi atas suatu mode
yang mana intuisi digabungkan dengan pencarian akal. Hal ini dapat dilihat
sebagaimana dalam kisah Hay, dimana, akal memiliki perkembangan yang
berngsur-angsur dan berturut-turut dari seseorang yang tidak mendapat asupan
pendidikan dari luar.
1. Metafisika (Ketuhanan)
Seperti para filosof sebelumnya, ibnu Thufail memulai filsafatnya dengan
filsafat ketuhanan. Dalam membuktikan adanya tuhan ibnu Thufail mengemukakan
tiga argument sebagai berikut:
a. Argumen Gerak
Gerak alam menjadi bukti adanya Allah. Baik bagi orang
yang meyakini alam baharu maupun bagi orang yang yang meyakini alam kadim. Bagi
orang yang meyakini alam itu baharu, gerak alam berarti dari ketiadaan hingga
alam itu ada (diciptakan). Oleh karena itu, keberadaan alam dari ketiadaan itu
mestilah membutuhkan pencipta yaitu Allah. Sementara bagi orang yang mengatakan
bahwa alam itu kadim, gerak alam berarti tidak berawal dan tidak berakhir.
Karena zaman tidak mendahuluinya, arti gerak ini tidak didahului oleh diam.
Disini, penggerak alam (Allah) berfungsi mengubah materi dari alam potensial ke
actual. Mengubah dari satu bentuk kebentuk yang lain.
Sirajuddin Zar dalam buku filsafat islam, Filosof
dan filsafatnya mengatakan, inilah letak keistimewaan argumen gerak ibnu
thufail, yakni dapat dipahami oleh semua golongan. Dengan argumen diatas,
secara tidak langsung, Ibnu Thufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu
akal dapat mengetahui adanya Allah.
b. Argumen Materi
Argumen gerak Ibnu Thufail juga digunakan untuk
mebuktikan adanya tuhan. Argumen ini didasarkan pada ilmu fisika yang masih ada
korelasinya dengan argumen yang pertama (al harakat). Hal ini dikemukakan Ibnu
Thufail dalam kelompok pikiran yang terkait satu sama lain yakni, segala yang
ada tersusun dari materi dan bentuk, setiap materi membutuhkan bentuk, bentuk
tidak mungkin bereksistensi penggerak dan segala yang ada untuk bereksistensi
membutuhkan pencipta.
Bagi yang meyakini alam itu kadim, pencipta ini
berfungsi mengeksistensikan wujud dari suatu bentuk ke bentuk yang lain.
Sementara bagi yang meyakini alam itu baru, pencipta berfungsi menciptakan dari
ketiadaan menjadi ada. Pencipta disini, merupakan ilat (sebab) dan alam
merupakan ma’lul (akibat).
c. Argumen Alghaiyyat dan Al-inayat al ilahiyat
Argumen ini sebenarnya pernah dikemukakan oleh Ibnu
Sina. Tiga sebab yang dikemukakan oleh aristoteles yaitu materi, bentuk dan
pencipta. Ibnu sina melengkapinya dengan ilat al ghaliyat, sebab tujuan.
Menurut Ibnu Thufail, bahwa segala yang ada di alam
ini memiliki tujuan. Tertentu. Ini merupakan inayah dari Allah. Ibnu thufail
yang berpegang pada argument ini sesuai dengan Al qur’an, menolak bahwa alam
diciptakan secara kebetulan. Alam ini, masih menurut ibnu Thufail, sangat rapi
dan sangat teratur. Semua planet, begitu juga jenis hewan dan anggota tubuh
pada manusia memiliki tujuan tertentu. Demikian tiga argument yang dikemukakan
Ibnu Thufail.
Adapun mengenai Dzat Allah, Ibnu Thufail sependapat
dengan kaum Mu’tazilah sifat-sifat Allah yang maha sempurna tidak berlainan
dengan Dzat-Nya. Allah berkuasa bukan dengan sifat ilmu dan kudrat yang
dimiliki. Melainkan dengan Dzat Allah itu Sendiri.
2. Alam
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung mengenai golongan yang mengakui
bahwa alam itu baru atau mereka yang mengakui alam itu kadim. Mengenai alam
ini, Ibnu Thuifail merupakan penganut keduanya. Ia mempercayai bahwa alam itu baru
sekaligus alam itu kadim. Alam itu kadim, menurut Ibnu Thufail, karena ia
diciptakan sejak azali, tanpa di dahului zaman. Alam disebut baru karena ia
membutuhkan dan bergantung pada Dzat Allah.
Ibnu Thufail mencontohkan, ketika seseorang menggenggam suatu benda,
kemudian ia gerakkan benda tersebut, maka benda itu mesti bergerak mengikuti
gerak tangan orang tersebut. Gerakan benda tersebut tidak terlambat dari segi
zaman dan hanya terlambat dari segi zat. Demikian alam ini, keseluruhan
merupakan akibat dan diciptakan Allah tanpa zaman.
3. Jiwa
Jiwa menurut Ibnu Thufail adalah makhluk yang tertinggi martabatnya.
Manusia Terdiri dari dua Unsur yakni jasad dan roh (al-madat al ruh).
Badan tersusun dari unsur-unsur sedangkan jiwa tidak. Jiwa bukan jisim dan
bukan pula sesuatu yang ada didalam jisim. Setelah badan hancur atau mengalami
kematian, jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal
Allah yang berada di dalam jasad akan hidup dan kekal.
Jiwa terdiri dari tiga tingkat: jiwa tumbuhan (an-nafs al nabawiyat),
jiwa jiwa hewan dan jiwa manusia. Ketiga jiwa tersebut merupakan sebuah
tingkatan dari yang terendah hingga tertinggi yaitu jiwa manusia. Dalam
menjabarkan hal ini, Ibnu Thufail kemudian mengelompokkan jiwa hubungannya
dengan Allah kedalam tiga golongan:
a. Jiwa yang sebelum mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi
kebesaran dan keagungannya, dan selu ingat kepadanya, maka jiwa seperti ini
akan kekal dalam kebahagiaan.
b. Jiwa yang mengenal Allah Namun bermaksiat, akan abadi dalam kesengsaraan.
c. Jiwa yang tidak mengenal allah sealam Hidupnya, akan berakhir seperti
hewan.
Dalam hal ini,
Sirajudin Zar dalam buku Filsafat Islam berkomentar: “Agaknya Ibnu
Thufail meletakkan tanggung jawab manusia dihadapan Allah atas dasar
pengetahuannya tentang Allah. Orang yang tahu kepada Allah dan menjalankan
kebaikan, akan kekal dalam kebahagiaan”.
4. Epistimologi
Ibnu Thufail mengatakan, seperti tersirat dalam kisah Hay Ibnu Yaqdan,
Bahwa ma’rifat dimulai dari panca indra. Hal yang bersifat metafisis dapat
diketahui dengan akal dan intuisi. Ma’rifat dapat dilakukan dengan dua cara:
pemikiran atau renungan akal seperti yang dilakukan filosof muslim; dan tasawuf
seperti yang dilakukan oleh kaum sufi. kesesuaian antara nalar dan intuisilah
yang membentuk epistimologi Ibnu Thufail. Menurut Ibnu Thufail, Ma’rifat dengan
tasawuf dapat dilakukan dengan latihan-latihan rohani dengan penuh kesungguhan.
Semakin tinggi latihan itu, maka semakin jelas dan hakikat semakin tersingkap.
kebenaran yang dimaksud sebagaimana disimpulkan oleh Nadhim al-Jisr dalam
buku Qissat al Imam yang juga dikutib Ahmad Hanafi dalam buku Pengantar
Filsafat Islam yaitu:
1. Urutan Tangga Ma’rifat yang ditempuh oleh akal dimulai dari obyek indrawi
yang khusus kepada pikiran universal.
2. Tanpa pengajaran dan tanpa petunjuk, akal manusia dapat mengetahui
tanda-tanda pada makhluknya dan menegakkan dalil-dalil atas wujudnya.
3. Akal manusia kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan dalam
mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak ingin menggambarkan
keazalian mutlak, ketidak-akhir-an, zaman qadim, hudus dan dalil yang sejenis
dengan itu.
4. Baik Akan menguatkan qadimnya alam atau baharunya, namun kelanjutan dari
kepercayaan tersebut adalah satu juga yaitu tuhan.
5. Manusia dengan akalnya sanggup menemukan dasar-dasar keutamaan dan
dasar-dasar akhlak yang bersifat amali dan kemasyarakatan, serta berhiaskan
diri dengan keutamaan-keutamaan dasar akhlak tersebut, disamping menundukkan
keinginan-keinginan badan pada hukum pikiran, tanpa ,melalaikan hak badan atau
meninggalkan sama sekali.
6. Apa yang diperintahkan oleh syariat islamdan apa yang diketahui oleh akal
yang sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan dapat
bertemu kedua-duanya dalam satu titik, tanpa dipersilisihkan lagi.
7. Pokok dari semua hikmah ialah apa yang ditetapkan oleh syara’ yaitu
mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya, tanpa
membuka kebenaran dan rahasia-rahasia filsafat kepada mereka. Juga pangkal dari
segala kebaikan ialah menetapi batas-batas syara’ dan meninggalkan pendalaman
sesuatu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari beberapa pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Ibnu Thufail Merupakan salah seorang filosof muslim yang memiliki corak
pemikiran yang berbeda yang tidak dimiliki oleh filosof sebelumnya. Hal ini
dapat dilihat dari corak filsafatnya, terutama dalam membuktikan eksistensi
tuhan
2. Dalam berfilsafat, meskipun Ibnu Thufail mengakui bahwa tanpa wahyu akal
bisa mencapai tuhan, Ibnu Thufail tidak menafikan wahyiu sebagai salah satu
sumber pengetahuan tidak menuhankan akal secara mutlak. Ia masih mengakui
adanya peran wahyu.
3. Keselarasan antara peran akal dan wahyu merupakan inti dari filsafat Ibnu
Thufail
B. SARAN
Semoga dengan sedikit pembahasan diatas dapat
memberikan referensi dan pengetahuan,serta wawasan baru tentang konsep ketuhanan,alam
dan manusia menurut ibn thufail bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumya
DAFTAR PUSTAKA
Sirajuddin Zar (Filsafat
Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007)
Mustofa, Filsafat
Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, h. 272
Hanafi, Pengantar
Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990) hal. 161
Muslim Ishak, Tokoh-tokoh
Filsafat Islam Dari Barat, (Bina Ilmu: surabaya), hal. 40.
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh filsuf Muslim pembuka Pintu Gerbang
Filsafat Barat dan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hal 179.